Pelaksanaan Haji dan Umrah

Ada tiga cara dalam melaksanakan ibadah haji, yaitu haji tamattu’, haji ifrad dan haji qiran. Rincian cara melaksanakannya sebagai berikut:

A. Haji Tamattu’

Saat mengerjakan ibadah haji tamattu’, jemaah haji mengerjakan umrah pada bulan haji terlebih dulu, baru kemudian mengerjakan haji. Dengan cara ini jemaah wajib membayar dam.

1. Pelaksanaan Umrah

a. niat ihram umrah

Bagi jemaah haji gelombang I, ihram umrah dilakukan dengan mengambil mīqāt di Abyar Ali (Dzul­ hulaifah­Madinah) dengan urutan sebagai berikut:

1. Disunnahkan mandi, berwudlu, memakai wangi­wangian, memotong kuku dan berpakaian ihram di hotel;

2. Di Masjid Abyar Ali melaksanakan shalat sunah ihram, dua rakaat, kemudian menuju bus;

3. Menaiki bus dan mengambil tempat duduk, kemudian melaksanakan niat ihram umrah dengan mengucapkan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً
Artinya:
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk berumrah.

Atau

نََويْ ُتالُْعْمَرَة َوأَ ْحَرْم ُتبَِها ِللَّٰتَعاَل.

Artinya:
Aku niat umrah dengan ber-ihram karena Allah Ta’ala

4. Berniat ihram umrah dengan isytirat

Jemaah haji yang lemah atau sakit dianjurkan untuk melakukan niat ihram umrah disertai isytirat (ihram bersyarat) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi halangan yang menyulitkan terlaksananya ibadah umrah. Saat berniat isytirat ia mengucapkan:

ًٌَََََََََََََََُُُِّّّّّّْْْْٰٰيْ ليك اللهم عمرة ف ِإن حبس ِن حابِس اللهم فم ِحل:

ََََُْْ حيث حبس ِن.

Artinya:
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji. Tetapi jika aku terhalang oleh sesuatu, ya Allah, maka aku akan bertahallul ditempat aku terhalang;

5. Jemaah haji yang mengalami udzur melaksanakan shalat sunat ihram di hotel dan di Abyar Ali diperbolehkan tetap berada di dalam bus, dan melaksanakan niat ihram umrah disertai isytirat di atas bus di Abyar Ali/ Dzulhulaifah;

6. Setelah berniat umrah, seluruh jemaah sangat dianjurkan membaca talbiyah, shalawat, doa dan dzikir.

7. Menuju Makkah dan seluruh Jemaah haji yakin telah melaksanakan niat ihram umrah.

Jemaah haji gelombang II bisa melakukan ihram sebelum miqat baik di asrama haji embarkasi/ embarkasi antara, atau di dalam pesawat sebelum melintas di atas Yalamlam/Qarn al­Manazil, atau di Bandar Udara King Abdul Aziz Internasional (KAIA) Jeddah, dengan urutan sebagai berikut:

1. Disunnahkan mandi, berwudlu, memakai wangi­wangian, memotong kuku, berpakaian ihram dan shalat sunat ihram di asrama haji embarkasi.;

2. Merapikan pakaian ihram, memastikan dan menjaga tertutupnya aurat .

3. Melaksanakan niat ihram umrah setelah ada informasi dari kru pesawat bahwa pesawat akan melintas di Yalamlam/Qarn al­Manazil dengan mengucapkan:

ليك اللهم عمرة.

Artinya:
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk berumrah.

Atau

نََويْ ُتالُْعْمَرَة َوأَ ْحَرْم ُتبَِها ِلل َتَعاَل.

Artinya:
Aku niat umrah dengan ber-ihram karena Allah Ta’ala

4. Berniat ihram umrah dengan isytirat

Jemaah haji yang lemah atau sakit dianjurkan untuk melakukan niat ihram umrah disertai isytirat (ihram bersyarat) dengan mengucapkan:

ًٌَََََََََََََََُُُِّّّّّّْْْْٰٰيْ ليك اللهم عمرة ف ِإن حبس ِن حابِس اللهم فم ِحل

ََََُْْ حيث حبس ِن.

Artinya:
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji. Tetapi jika aku terhalang oleh sesuatu, ya Allah, maka aku akan bertahallul ditempat aku terhalang;

5. Jemaah menaiki bus yang telah disediakan naqobah dengan tertib sesuai dengan rombongan masing­masing.

6. Jemaah yang belum mengucap niat ihram umrah di dalam pesawat, dapat mengucapkan niat ihram umrah di atas bus di bandar udara Jeddah.

7. Setelah berniat ihram umrah, seluruh jemaah sangat dianjurkan membaca talbiyah, sha­ lawat, doa dan dzikir.

8. Menuju Makkah dan seluruh Jemaah haji yakin telah melaksanakan niat ihram umrah.

b. Perjalanan menuju makkah

Jemaah haji gelombang I dan gelombang II setelah niat ihram umrah, melakukan perjalanan menuju Makkah. Selanjutnya hal­hal yang dilakukan jemaah sebagai berikut;

1. Selama perjalanan, jemaah sangat dianjurkan membaca talbiyah, shalawat, doa dan dzikir;
2. Menghindari perbuatan yang berakibat terjadinya pelanggaran larangan ihram;
3. Masuk Makkah dan berdo’a ketika tiba di gerbang kota Makkah
4. Memasuki kota Makkah dengan hati yang khusyu’, anggota tubuh tenang, tetap membaca talbiyah dan berdoa sepenuh hati;

c. Tiba di makkah dan Persiapan Tawaf

1. Beristirahat setelah tiba di hotel, sebagaimana sunnah Nabi SAW dan melakukan orientasi lingkungan tempat tinggal; setelah cukup istirahat berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan thawaf dan sa’i;
2. Mandi sunnah sebelum berangkat ke Masjidil Haram, kemudian berwudhu;
3. Memasuki Masjidil Haram disunahkan melalui pintu Bani Syaibah, tetapi jika kondisi tidak memungkinkan, maka boleh masuk melalui pintu yang mana saja dan berdoa;
4. Mendahulukan kaki kanan ketika memasuki Masjidil Haram;
5. Melihat Ka’bah disunahkan berdoa dan mengangkat tangan; *

a)  Menuju tempat thawaf dengan bersika santun, tidak terburu­buru. Jika kondisi penuh dan berdesakan agar bersabar. Jika terdorong orang lain agar memaafkan seraya terus menyadari bahwa dirinya sedang berada di tempat yang suci dan sedang menjadi tamu Allah;

b)  Memastikan dirinya dalam keadaan suci dari hadats, pakaiannnya suci dari najis dan auratnya tertutup.

* Dari Ibnu ‘Abbas RA dari Nabi SAW bersabda; “Mengangkat tangan ketika mengawali shalat, ketika melihat Ka’bah, ketika di Shafa dan Marwa, ketika wukuf di Arafah, ketika di Muzdalifah, ketika di jamrah dan ketika shalat mayit”. (HR. As­syafi’i dari Ibnu ‘Abbas RA). Asy­Syafi’i, Al-Umm, juz l hlm.169.

d. Thawaf

1. Jemaah disarankan thawaf beregu atau berombongan;

2. Tawaf dimulai dari Hajar Aswad. Setiba di rukun Aswad, jemaah disunahkan menyentuhnya, beristilam dan menciumnya jika memungkinkan, dengan tanpa menyakiti dan melukai orang lain saat berdesakan di dekat Hajar aswad. Jika tidak memungkinkan menyentuh Hajar Aswad, jemaah bisa beristilam dengan melambaikan tangan ke arah Hajar Aswad lalu mencium tangannya. Jika hal itu juga tidak memungkinkan, cukup menghadapkan badan ke Ka’bah memberi isyarat dengan tangan dan mengecupnya dengan mengucapkan *:

بِسْمِ ا ِلل ا لل أ ك ب

Artinya:
Dengan nama Allah, Allah Maha Besar

Ibnu Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa juz, 6 hal. 67 Ketika hendak memulai thawaf disunatkan menghadap Ka’bah dengan sepenuh ba­ dan. Bila tidak mungkin, cukup dengan menghadapkan sedikit badan ke Ka’bah

3. Pada thawaf putaran kedua dan seterusnya jemaah cukup menghadapkan muka ke arah Hajar Aswad dengan mengangkat tangan dan mengecupnya sambil membaca:

بِسْمِ ا ِلل ا لل أ ك ب

Artinya:
Dengan nama Allah, Allah Maha Besar

­4. Thawaf dilakukan tujuh kali putaran menge­ lilingi Ka’bah dengan memosisikan Ka’bah di sebelah kiri badan.

5. Selama thawaf disunatkan berdzikir dan berdoa atau membaca Al­Qur’an, dibaca dengan suara lirih agar lebih khusyu’ dan tidak mengganggu jemaah lain;

6. Setiap sampai di Rukun Yamani, jemaah disunahkan mengusap Rukun Yamani (istilam); jika tidak memungkinkan, cukup dengan mengangkat tangan tanpa mengecup dan mengucapkan:

بِسْمِ ا ِلل ا لل أ ك ب

Artinya:
Dengan nama Allah, Allah Maha Besar

7. Setiap perjalanan antara rukun Yamani dan rukun Aswad jemaah disunahkan membaca doa; َْ ٰ

َرَّبنَا اتِنَا ِف ا ُّلدْنيَا َح َسنًَة َوِف الأ ِخَرِة َح َسنًَة َوِقنَا َعَذا َبا َّلناِر.

Artinya:
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari azab neraka.” Al-Baqarah[2]:201.

8. Jemaah laki­-laki disunahkan melakukan lari­ lari kecil pada tiga putaran pertama;

9. Jemaah laki­-laki disunahkan juga melakukan idhthiba’ pada seluruh putaran thawaf;*

* Idhthiba’ yaitu memasukkan bagian tengah selendang, dibawah ketiak kanan dan meletakkan kedua ujungnya diatas pundak kiri dengan membiarkan bahu kanan terbuka dan bahu kiri tertutup. Wahbah az­Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz 3 hal. 168.

10. Selama thawaf jemaah agar berhati­hati dengan berusaha agar tidak bersentuhan kulit dengan lain jenis yang bukan mahramnya (ajnabi) sebab bisa membatalkan wudhu;

11. Saat kondisi tempat tawaf padat, semua jemaah agar bersabar dan mengendalikan diri agar untuk tidak berusaha menghalang­ halangi dan mendahului orang lain;

12. Tawaf dapat dilakukan di lantai satu, dua, tiga, dan lantai empat

13. Jemaah memulai tawaf searah dengan Hajar Aswad yang ditandai dengan lampu hijau. Jemaah memulai thawaf dengan menghadapkan tubuhnya ke arah Haja Aswad. Setelah tujuh putaran, jemaah mengakhiri thawaf searah dengan Hajar Aswad yang ditandai dengan lampu hijau, tempat ia memulai thawaf.

14. Jemaah udzur atau sakit dapat melaksanakan tawaf dengan kursi roda di lantai satu, lantai dua, atau lantai empat. Kursi roda bisa dibawa sendiri oleh jamaah atau menyewanya beserta biaya jasa pendorongnya. Jemaah udzur atau sakit juga dapat melakukan tawaf dan sa’i dengan menyewa ‘arabah kahrubaiyyah (skuter matik) roda empat bertenaga baterai. Fasilitas ini disediakan di lantai tiga mezzanine.

15. Selama thawaf jemaah dilarang menyentuh dinding Ka’bah, Hijir Ismail, dan Syadzarwan (pondasi Ka’bah). Menyentuh bagian­bagian itu membatalkan putaran tawāf yang sedang dilaksanakan. Sedangkan putaran sebelum dan sesudahnya tetap sah. Dalam kasus seperti ini, jemaah harus menambah putaran sebanyak putaran yang batal tadi.

16. Disunahkan mencium hajar aswad, tapi jika situasidankondisi di sekitar Hajar Aswad sangat padat disarankan untuk tidak memaksakan diri mencium Hajar Aswad dalam kondisi berdesakan. Berdesakan antara lelaki dan pe­ rempuan dengan mengabaikan keselamatan diri sendiri dan orang lain hukumnya ha­ ram, terlebih lagi dengan membayar orang untuk membantu melapangkan jalan dan menghalangi jalan orang lain;

17. Apabila jemaah merasa ragu dengan jumlah putaran tawaf yang sudah dilakukan, harus mengambil hitungan yang paling sedikit, lalu menambah putaran tawaf hingga gena menjadi tujuh putaran*.

* Ibnu Mundzir, Al-Ijma’, hal. 70 nomor ijma’ 199

18. Sesudah thawaf disunahkan melaksanakan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim* atau tempat manapun di Masjidil Haram kemudian berdoa;

* Jika memungkinkan, salat di belakang maqam Ibrahim. Jika kondisi penuh, jemaah bisa salat di area Masjidil Haram mana pun. Ibnu Mundzir an­Naisaburi, Al-Ijma’, hal. 71, ijma’ no 206. Pada rekaat pertama setelah membaca surah al­Fatihah disunatkan membaca surat al­Kafirun lalu membaca surat al­Ikhlas pada rekaat kedua. Muslim, No. 1218.

19. Berdoa di Multazam, yaitu suatu tempat di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Jika kondisinya tidak memungkinkan karena padat, jemaah bisa mengambil tempat yang searah dengan Multazam;

20. Setelah jemaah selesai melaksanakan salat sunah thawaf, dan berdoa di Multazam, jemaah disunahkan minum air Zamzam yang diambil dari tempat yang telah disediakan di galon atau kran air Zamzam kemudian berdoa.

21. Shalat sunat di Hijir Ismail adalah shalat sunat mutlak yang tidak ada kaitannya dengan thawaf. Ia tidak harus dilaksanakan setelah tawaf, namun dapat dilaksanakan kapan saja bila keadaan memungkinkan;

Suasana Tawaf

e. sa’i

Setelah jemaah haji melaksanakan thawaf dan rangkaiannya, jemaah selanjutnya:

  1. Menuju ke tempat sa’i (mas’a) untuk melaksanakan sa’i dimulai dari bukit tafa;
  2. Mendaki bukit tafa sambil berdzikir dan berdoa ketika hendaki mendaki bukit; *
  3. Menghadap kiblat dengan berdzikir dan berdoa setiba di atas bukit tafa;
  4. Melakukan sa’i, disunahkan dengan berjalan kaki bagi yang mampu, dan boleh menggunakan kursi roda atau skuter matik bagi yang udzur;
  5. Memulai perjalanan sa’i dari bukit s}afa menuju bukit Marwah dengan berdzikir dan berdoa;
  6. Melakukan sa’i disunahkan suci dari hadats dan berturut­turut tujuh putaran, tetapi dibolehkan diselingi lama atau sebentar untuk melakukan shalat fardhu atau lainnya;.
  7. melakukan perjalanan dari bukit s}afa dan mengakhirinya di bukit Marwah sebanyak tujuh kali perjalanan;
    Tempat sa’i (mas’a)
  8. Menghitung perjalanan dari Safa ke Marwah dihitung satu kali perjalanan. Sebaliknya, perjalanan dari Marwah ke Safa dihitung satu kali perjalanan. Dengan demikian, hitungan ketujuh berakhir di Marwah;
  9. Melakukan ar-raml (berlari­lari kecil), disunahkan bagi jemaah laki­laki setiap melintas di sepanjang lampu hijau, sedangkan jemaah perempuan cukup berjalan biasa;
  10. Membaca doa dan dzikir di sepanjang perjalanan sa’i dari Shafa ke Marwah, dan dari Marwa ke Shafa;
  11. Membaca doa dan dzikir setiap kali mendaki bukit s}afa dan bukit Marwah dari ketujuh per­ jalanan sa’i;
  12. Membaca doa di Marwah setelah selesai melaksanakan sa’i, dan tidak perlu shalat sunah setelah sa’i.

* Saat ini kondisi Shafa tidak lagi berbentuk bukit batu terjal. Tempat sa’i di lantai satu, tiga dan empat, berbentuk datar. Pada ujung tempat sa’i lantai dua, bentuknya menanjak. Terdapat bebatuan yang dikelilingi dengan pagar besi, sehingga jemaah tidak bisa mendaki ke atas batu. Sa’i dimulai dari tempat nyaman di tengah­tengah bukit. Sepanjang jalur sa’i dilengkapi dengan AC. Tempat sa’i di lantai tiga dan empat terletak di atas bukit Shafa.

f. Bercukur

Setelah selesai melaksanakan sa’I, bagi Jemaah yang melaksanakan haji tamattu’ bercukur/memotong rambut kepala. Dengan demikian, selesailah pe­ laksanaan umrah. Ketentuan cara memotong rambut adalah:

1. Laki­-laki mencukur gundul atau memotong sebagian rambut kepala sambil membaca doa mencukur rambut; *

2. Perempuan memotong sebagian rambut kepala minimal tiga helai;

3. Jemaah yang kepalanya botak cukup menempelkan pisau cukur atau gunting di kepala sebagai isyarat mencukur rambut.

Setelah jemaah bercukur/memotong rambut kepala, ibadah umrah yang dia lakukan sudah selesai dan ia terbebas dari larangan­larangan ihram (tahallul).

* Berdasar hadits yang menerangkan bahwa nabi mendoakan ampunan dan rahmat tiga kali bagi yang bercukur gundul dan satu kali bagi yang memendekkan rambut. Al­Bukhari nomor hadits 1727­ 1728.

2. Pelaksanaan Haji

Pada hari tarwiyah 8 Dzulhijjah, jemaah haji yang melaksanakan haji tamattu’ mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah haji dengan melaksanakan niat ihram haji dan mengambil mīqāt di tempat tinggalnya yaitu di hotel­hotel Makkah, dengan melakukan berbagai aktivitas sebagai berikut:

a. di hotel makkah:

1. Bersuci, disunahkan membersihkan badan dengan mandi dan berwudhu, memotong kuku, memakai wangi­wangian;
2. Berpakaian ihram, dilanjutkan dengan melak­ sanakan shalat sunat ihram;
3. Berniat haji denganmengucapkan:

ليك اللهم حجا

Artinya:
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji.

نويت الج وأحرمت بِ ِه ِلل تعال.

Artinya:
Aku berniat haji dengan berihram karena Allah Ta’ala.

4. Setelah mengucapkan niat ihram haji, jemaah dianjurkan membaca talbiyah;

5. Berniat haji dengan isytirat; jemaah haji yang lemah atau sakit dianjurkan untuk isytirat (ihram bersyarat), untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi halangan yang menyulitkan ibadah haji. Niat isytirath dengan mengucapkan:

ليك اللهم حجا ف ِإن حبس ِن حابِس اللهم فم ِحل

حيث حبس ِن.

6. Berangkat menuju Arafah mulai pukul 07.00 WAS sampai selesai, pada 8 Dzulhijjah yang disebut hari tarwiyah, * dengan naik ke bus antre dengan sabar sesuai rombongan;

7. Berdzikir, dengan membaca talbiyah selama perjalanan dari Makkah ke Arafah, serta bershalawat, dan berdoa dengan lafazh yang sama seperti lafadz yang dibaca waktu jemaah melaksanakan umrah;

8. Berdoa ketika masuk wilayah Arafah.

* Tarwiyah berasal dari kata rawwa-yurawwi-tarwiyatan, yang bermakna menyiapkan air. Disebut tarwiyah karena pada zaman dulu, para jemaah haji menyiapkan perbekalan air minum untuk dibawa ke Arafah, karena pada masa itu belum ditemukan sumber mata air di Arafah. Ibn Hajar al­Asqalani, Fathul Bari, juz 3, hlm. 507.

b. di Arafah

1. Jemaah haji tiba di Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah, sementara wukuf sebagai rukun haji, dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah. Selama menunggu wukuf, jemaah hendaknya berdzikir, membaca Al­Qur’an, talbiyah, dan berdoa.

2. Pada tanggal 9 Dzulhijjah ba’da zawāl (setelah Matahari tergelincir) dimulai wukuf *1,jemaah haji melaksanakan wukuf hingga maghrib *2. Selama wukuf, jamaah melakukan kegiatan sebagai berikut :

a)  Mendengarkan khutbah wukuf;
b)  Masuk waktu wukuf yang ditandai dengan adzan waktu dzuhur;
c)  Melaksanakan salat Żuhur dan As}ar jama’- qas}ar taqdim
d)  Melaksanakan wukuf, dilanjutkan dengan dzikir dan berdoa boleh secara berjamaah atau sendiri­ sendiri;
e)  Memperbanyak dzikir, bacaan talbiyah, zikir, membaca Al­Qur’an diselingi dengan doa dan berusaha terus mendekatkan diri kepada Allah, dengan khusyu’ dan tawadhu’;
f)  Memanfaatkan kesempatan wukuf sebaik­baiknya untuk berbuat kebaikan, bertaubat, membersihkan hati, selalu mengingat Allah SWT (berdzikir), dan tidak membicarakan hal­hal yang menimbulkan sum’ah dan riya’;
g)  Menghindari perbuatan yang berakibat terjadinya pelanggaran larangan ihram
h)  Melaksanakan wukuf disunahkan menghadap kiblat, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW, sejak mulai wukuf sampai matahari terbenam dengan berdzikir dan berdoa;
i)  Mengakhiri wukuf ketika waktu maghrib tiba yang ditandai dengan adzan magrib.
j)  Jemaah haji bersiap­siap menuju Muzdalifah didahului dengan shalat maghrib;
k)  Melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ dengan cara jama’ takhir dan qas} ar di Muzdalifah bagi jemaah yang diberangkatkan trip awal. Sementara jemaah yang diberangkatkan dengan trip akhir melaksanakan salat Maghrib dan Isya’ dengan cara jama’ taqdim qas}ar di tenda Arafah;
l)  Meyakini bahwa wukuf yang dilakukan sah dan sempurna.
m)  Menaiki bus menuju Muzdalifah dengan antre dan bersabar, menunggu giliran, sepanjang perjalanan menuju Muzdalifah disunahkan berdzikir, bertalbiyah dan berdoa.

*1 Waktu wukuf dimulai ba’da zawal (setelah tergelincir matahari) pada 9 Dzulhijjah dan berakhir saat terbit fajar 10 Dzulhijjah

*2 Kadar waktu wukuf menurut mazhab Syafi’i cukup sesaat pada siang hari. Bila waktu wukuf diperpanjang sampai malam, hukumnya sunnah. Menurut Mazhab Maliki, wukuf harus menemui waktu siang (hukumnya wajib) dan waktu malam (hukumnya sebagai rukun). Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali, wukuf harus mendapati siang dan malam dan keduanya merupakan wajib haji. Sa’id Bin Abdul Qadir Basyanfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al’Umrah, hlm. 248.

Suasana khutbah wukuf di Arafah

c. di muzdalifah

Pada 10 Dzulhijjah malam, semua jemaah haji:  ­

1. Meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah untuk melaksanakan mabit

2. Membaca talbiyah dan berdzikir selama dalam perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah;

3. Bersikap tenang, tidak terburu­buru, selama perjalanan menuju Muzdalifah;

4. Menghadap kiblat, setelah tiba di tempat mabit. Hukum menghadap kiblat adalah sunah.

5. Membaca talbiyah dan zikir, diselingi dengan doa dan berusaha terus mendekat kepada Allah karena Muzdalifah termasuk tempat mustajab untuk berdoa;

6. Menempati tempat mabit. Sebagian besar Jemaah menempati area terbuka yang dibatasi oleh pagar besi. Sebagian Jemaah ditempatkan di kemah perluasan Mina (Mina jadid) yang terletak di luar pagar;

7. Melaksanakan mabit di Muzdalifah. Hukum mabit ini adalah wajib. Lamanya mabit diutamakan sejak awal malam hingga sebelum fajar tanggal 10 Dzulhijjah; namun boleh mabit di Muzdalifah cukup sejenak, hingga lewat tengah malam *. Bagi Jemaah haji yang tiba di Muzdalifah setelah lewat tengah malam cukup berhenti sejenak.

8. Mencari dan mengambil batu kerikil; muassasah sudah menyediakan batu kerikil yang dibungkus kantong kain dengan jumlah yang cukup untuk melontar seluruh jamrah untuk jemaah haji reguler. Namun mencari dan mengambil batu kerikil di Muzdalifah hukumnya sunnah. Jika tidak mendapatkan jatah pembagian kantong kerikil, jemaah bisa mencari kerikil tujuh butir, atau 49 butir (jika jemaah berniat mengambil nafar awal) atau 70 butir (jika jemaah berniat mengambil nafar tsani);

9. Memanfaatkan waktu mabit dengan sebaik­ baiknya untuk muhasabah, tadabbur dan tafakkur, mengagungkan Allah SWT, berserah diri kepada­Nya, dan kontemplasi untuk menemukan jati diri, sehingga merasakan kehadiran­Nya dalam jiwa dan raga, serta merasakan datangnya kasih sayang dari Allah;

10. Jemaah yang masuk kategori udzur syar’i boleh tidak melakukan mabit di Muzdalifah dan tidak dikenakan dam, di antaranya jemaah yang khawatir hartanya hilang, sakit berat dan karena itu sulit baginya untuk mabit, atau petugas yang mengurus jemaah atau karena ada kendala lainnya.

11. Menuju Mina setelah lewat tengah malam dengan diangkut secara bergiliran dari tempat mabit

* Menurut Mazhab Maliki, kadar lama mabit di Muzdalifah adalah selama melaksanakan ṣalat Maghrib dan Isya, kemudian makan malam sejenak sekadar cukup waktu untuk menurunkan pelana kuda. Mabit sudah sah sekalipun jemaah keluar dari Muzdalifah sebelum tengah malam. Menurut Imam Syafi’i dan imam Ahmad, mabit di Muzdalifah harus lewat tengah malam. Apabila keluar dari Muzdalifah sebelum tengah malam, jemaah wajib membayar dam. Imam Abu Hanifah berpendapat, mabit harus sampai terbit fajar. Bila keluar dari Muzdalifah sebelum terbit fajar, jemaah harus membayar dam. Abdurraḥman al-Jaziri,Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz. I, hlm. 665-667

Mencari batu kerikil – jalanblog.wordpress.com

 

Suasana malam di Muzdalifah – jalanblog.wordpress.com

d. di Mina

Setelah tiba di Mina, seluruh jemaah haji melakukan aktivitas berikut ini:

­1. Memasuki tenda yang telah disiapkan lalu beristirahat, menunggu proses melontar jamrah sesuai jadwal dan waktu yang telah ditetapkan;

2. Melontar Jamrah Kubra (Aqabah) pada 10 Dzulhijjah sebanyak tujuh kali lontaran. Jemaah haji Indonesia melontar jamarat di lantai tiga, kecuali jemaah haji yang melaksanakan mabit di maktab I sampai IX melontar jamrah di lantai dasar *.

* Pada awalnya tempat lontar jamrah merupakan tempat terbuka dan tidak bebentuk bangunan, kemudian dibangun dua lantai, selanjutnya Pemerintah Arab Saudi membangun tempat lempar jamrah menjadi lima lantai, yang digunakan pertama kali pada tahun 2012.

3. Membaca takbir dan berhenti membaca talbiyah setelah melontar jamrah Aqabah;

4. Membaca takbir setiap kali melont jumrah. Setelah melontar jemaah disunnahkan berdoa dengan mengangkat kedua tangan agar ibadah haji yang dilakukannya mabrur;

5. Memotong rambut/bercukur. Laki­laki disunahkan gundul dan perempuan cukup memotong rambutnya, minimal 3 helai. Jemaah haji yang langsung melaksanakan tawaf ifadhah, bisa bercukur di Makkah;

6. Tahallul awal. Dengan telah dilaksanakannya lempar jumrah aqabah dan bercukur, jemaah sudah tahallul awwal. Jemaah sudah terbebas dari semua larangan ihram kecuali melakukan hubungan badan dan pendahuluannya;

7. Mabit di Mina. Hukum mabit di Mina wajib. Sebagian besar Jemaah mabit di perkemahan Haratullisan Mina. Sebagian lagi mabit di perluasan Mina atau Mina Jadid. Perkemahan Mina Jadid merupakan perluasan dari perkemahan Mina. Mabit di perluasan Mina termasuk mina Jadid dibolehkan dan hukum mabitnya sah.

8. Mabit selama dua malam yaitu 11 sampai 12 Dzulhijjah bagi nafar awal atau tiga malam, 11 sampai 13 Dzulhijjah bagi nafar tsani.;

9. Memanfaatkan waktu mabit di Mina sebaik­ baiknya, dengan terus bermujahadah, memelihara jiwanya yang telah bersih, agar tidak menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, tidak melanggar perintah Allah, menjauhkan diri dari godaan syetan, tidak mengumbar hawa nafsu, dan pada puncaknya dapat menyandarkan hidupnya hanya kepada Allah.

10. Melontar ketiga Jamarat (Sughra, Wustha, dan Kubra) masing­masing tujuh kali lontaran pada 11 Dzulhijjah;

11. Melontar tiga Jamarat (Sughra, Wustha, dan Kubra) pada 12 Dzulhijjah; jemaah haji yang mengambil nafar awwal diharuskan me­ninggalkan Mina menuju Makkah sebelum Matahari terbenam;

12. Melontar tiga Jamarat (Sughra, Wust}ha, dan Kubra) pada 13 Dzulhijjah; jemaah yang mengambil nafar tsani meninggalkan Mina menuju Makkah;

Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan jemaah selama mabit di Mina:

1. Melontar jamrah adalah untuk mengagungkan Asma Allah. Karenanya jemaah pada saat melontar harus penuh dengan rasa santun, tidak dengan emosi, tidak saling menyakiti secara fisik, baik dengan cara berdesak­ desakan, saling berebut tempat. Jemaah hendaknya melempar dengan menggunakan batu kerikil *,dan tidak menggunakan batu besar karena bisa membahayakan orang lain;

* Abî Dâud, Sunan Abî Dâwud, nomor hadits 1966.Al­Fâkihî, Akhbâr Makkah, juz 4, hal. 250 nomor hadits 2557

2. Melontar jamrah dilakukan dengan cara melontar batu kerikil ke dinding marma, memastikan batu kerikil mengenai dinding marma dan kemudian masuk ke lubang marma.

3. Waktu mabit di Mina adalah sepanjang malam hari, dimulai dari waktu Maghrib sampai de­ ngan terbit fajar. Batas waktu mabit di Mina, paling sedikit jemaah mendapatkan sebagian besar waktu malam (mu’dzhamul lail). Menurut sebagian ulama’, mabit di Mina sah selama jemaah hadir di Mina sebelum fajar kedua terbit; *

* Abu Zakariya an­Nawawi, al-Majmu’ Syarkh al-Muhadzab li Syairazi, juz 8, hlm. 223; lihat juga al­Izz bin Abdl Salam, al-Ghayah fi Ikhtishar an-Nihayah, jilid 3, hlm. 108

4. Waktu melontar Jamrah Aqabah pada 10 Dzulhijjah dimulai sejak lewat tengah malam dan lebih utama setelah Matahari terbit. Namun, mengingat padatnya jemaah haji dari seluruh dunia yang melontar pada waktu itu, dianjurkan kepada jemaah haji Indonesia untuk melontar mulai siang hari;

5. Waktu melontar pada hari Tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah menurut jumhur ulama dimulai setelah Matahari tergelincir. Namun, Imam Rafi’i dan Imam Isnawi dalam mazhab Syafi’i membolehkan melontar jamarat sebelum Matahari tergelincir (qabla zawāl), dimulai sejak fajar terbit. Pendapat tersebut dapat diamalkan meskipun sebagian ulama menilai da’īf/lemah (Keputusan Muktamar ke­29 NU 4 Desember 1994);

6. Jemaah haji yang membadalkan lontar orang lain meniatkan lontaran untuk dirinya sendiri terlebih dulu baru kemudian meniatkan lontaran untuk jemaah yang dibadalkan;

7. Jemaah haji yang mengambil nafar awal meninggalkan Mina pada 12 Dzulhijjah sebelum Matahari terbenam, sedangkan jemaah yang mengambil nafar tsani meninggalkan Mina pada 13 Dzulhijjah;

8. Memperbanyak takbir, berzikir, diselingi dengan doa dan berusaha terus mendekatkan diri kepada Allah karena Mina termasuk tempat mustajab untuk berdoa; berdzikir dan berdoa untuk melatih rohani agar bisa lebih berserah diri di hadapan Allah, kemudian bergantung pada Kekuasaan dan Keagungan­ Nya

Kota Mina. © panoramio.com
kompasiana.com
Jamarat – (Megapolitan.Antaranews.Com/Foto: Google.Co.Id/Dok).
hajjumrahplanner.com
Melempar Jumrah – (AFP Photo/Fethi Belaid)

e. Tawaf Ifadhah

Tawaf ifadhah dilaksanakan setelah jemaah haji pulang dari Mina 12 Dzulhijjah (bagi yang melaksanakan nafar awal) atau setelah 13 Dzulhijjah (bagi yang melaksanakan nafar tsani). Setelah tiba di hotel Makkah, aktifitas jamaah:

1. Beristirahat secukupnya dan tidak memaksakan diri segera melaksanakan tawaf ifadhah. Menurut jumhur ulama’, tidak ada batas waktu akhir pelaksanaan tawaf ifadhah. Ia bisa dilakukan kapan saja selama masih hidup *. Terlebih bagi jemaah yang berada di Mina, disarankan tidak melaksanakan tawaf ifadhah 10 Dzulhijjah dengan berjalan kaki menuju Makkah dan kembali lagi ke tenda Mina karena berisiko terhadap keselamatan dan kesehatan jemaah.

* Sa’id Bin Abdul Qadir Basyanfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al’Umrah, hlm. 179

2. Bagi jemaah haji yang tinggal di hotel jauh dari Masjidil Haram, tawaf ifadhah sebaiknya dilakukan setelah bus shalawat beroperasi, kecuali jemaah haji gelombang I kloter 1–5 yang harus segera meninggalkan tanah suci menuju tanah air;

3. Melaksanakan thawaf ifadlah dan sa’i (tahallul tsani), tanpa diakhiri dengan mencukur rambut. Dengan demikian, jemaah telah tahallul tsani, terbebas sepenuhnya dari semua larangan ihram. Dengan selesainya tawaf ifadhah, berarti telah selesai rangkaian pelaksanaan haji tamattu’.

4. Meyakini hajinya sah dan sempurna dengan terus berdoa agar hajinya diterima Allah SWT.

f. Tawaf Wada’

Baik jemaah haji gelombang I yang segera pulang ke tanah air maupun gelombang II yang hendak bertolak ke ke Madinah diwajibkan melakukan thawaf wada’. Thawaf wada’ dikerjakan saat jemaah haji akan meninggalkan Makkah.

g. Mengubah Niat:

Haji tamattu’ bisa diubah menjadi haji qirān dengan mengubah niat ihram umrah menjadi niat ihram haji dan umrah sekaligus, atau menjadi ifrad dengan mengubah niat ihram umrah menjadi ihram haji saja. Tetapi orang yang melakukan perubahan niat haji dikenakan dam satu ekor kambing. Diantara kondisi yang menyebabkan terjadinya perubahan niat ihram tersebut adalah:

1. Perempuan yang datang di Makkah dalam keadaan haid/nifas dan sampai datang waktu wukuf masih belum suci sehingga tidak bisa melaksanakan umrah;

2. Jemaah yang datang di Makkah dalam keadaan sakit dan sampai datang waktu wukuf tidak bisa melaksanakan umrah.

B. Haji Ifrād

Haji ifrād adalah mengerjakan haji saja tanpa umrah. Dengan cara ini seorang jemaah haji tidak wajib membayar dam. Pelaksanaan haji dengan cara ifrād ini dapat dipilih oleh jemaah haji yang datang mendekati waktu wukuf, sekitar lima hari sebelum wukuf.

1. Niat Ihram

a. Bersuci dengan mandi dan berwudlu;
b. Berpakaian ihram;
c. Melaksanakan salat sunat ihram dua rakaat;
d. Berniat ihram haji dari miqat di Abyar Ali bagi jemaah haji gelombang I dan di asrama haji embarkasi, atau di dalam pesawat sebelum melintasi di Yalamlam/Qarnul al­Manazil, atau di Bandara KAIA Jeddah, bagi jemaah haji gelombang II, dengan melaksanakan niat di hati:

ًَََََََُّّّّْ ليك اللهم حجا.

Artinya:
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji.

Atau mengucapkan: َ ْ

نَ َويْ ُتالَ َّج َوأ ْح َر ْم ُتبِ ِه ِلل َت َعال

Artinya:
Aku berniat haji dengan berihram karena Allah Ta’ala.

e. Bagi jemaah haji yang lemah dan sakit dianjurkan niat ihram dengan isytirat, lihat cara isytirat pada bab haji tamattu’

2. Aktifitas di makkah

a. Jemaah haji Indonesia yang melaksanakan haji ifrād, ketika tiba di Makkah disunatkan mengerjakan thawaf qudum;

b. Thawaf qudum bukanlah thawaf umrah, bukan pula thawaf haji, dan hukumnya sunat. Setelah thawaf qudum, boleh diikuti dengan sa’i atau tidak. Jika diikuti dengan sa’i, maka sa’i yang dikerjakan ini sudah termasuk sa’i haji. Pada saat melaksanakan thawaf ifad}ah, tidak perlu melakukan sa’i lagi.

c. Jika setelah melakukan thawaf qudum seorang jemaah sudah melaksanakan sa’i, maka jemaah ini tidak mengakhiri sa’i­nya dengan bercukur/ memotong rambut. Cukur dilaksanakan sesudah wukuf dan tiba di Mina setelah atau sebelum melontar Jamrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah;

d. Urutan kegiatan, bacaan dzikir dan doa pada pelaksanaan haji ifrād sejak dari wukuf sampai selesai, sama dengan yang dilakukan jemaah saat melaksanakan haji tamattu’;

e. Apabila setelah selesai melaksanakan ibadah haji, jemaah ingin melaksanakan ibadah umrah, jemaah dapat mengambil mīqāt dari Tan’im, Ji’ranah atau mīqāt lainnya;

f. Jemaah haji yang melakukan haji ifrad diwajibkan melakukan thawaf wada’ men­ jelang berangkat ke tanah air bagi gelombang I dan menjelang bertolak ke Madinah bagi gelombang II.

3. Mengubah Niat:

Mengubah niat dari haji ifrad menjadi haji tamattu’ atau haji qiran atau sebaliknya, hukumnya boleh, tetapi pelakunya dikenakan dam tamattu/qiran serta dam mengubah niat. Dia tidak perlu kembali ke miqat.

C. Haji qirān

Haji qirān adalah proses mengerjakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Orang yang melakukan cara ini wajib membayar Dam Nusuk satu ekor kambing. Haji qirān dapat dipilih apabila karena sesuatu hal, seorang jemaah tidak dapat melaksanakan umrah, baik sebelum maupun sesudah haji, termasuk jemaah haji yang masa tinggalnya di Makkah sangat terbatas. Pelaksanaannya sebagai berikut:

1. Niat Ihram

a. Bersuci dengan mandi dan berwudu;

b. Berpakaian ihram;

c. Melaksanakan salat sunat ihram dua rakaat;

d. Berniat ihram haji dan ihram umrah dari miqat

Abyar Ali bagi gelombang I dan dari asrama haji embarkasi bagi gelombang II, atau di dalam pesawat sebelum melintas Yalamlam/ Qarnul al­Manazil, atau di Bandara KAIA Jeddah, dengan melaksanakan niat di hati;

ًًَََََََََُُّّّّْْ ليك اللهم حجا وعمرة

Artinya:
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji dan berumrah.

­Atau mengucapkan: َ

نََويُْتاْلََّجَوالُْعْمَرَةَوأْحَرْمُتبِِهَماِللَتَعاَل.

Artinya:
Aku niat haji dan umrah dengan berihram karena Allah Ta’ala.

e. Jemaah haji yang lemah dan sakit dianjurkan berniat ihram dengan isytirat, lihat cara isytirat pada haji tamattu’

2. Aktifitas di makkah

a. Jemaah haji Indonesua yang melaksanakan haji qiran, ketika tiba di Makkah disunatkan mengerjakan thawaf qudum;

b. Thawaf qudum bukanlah thawaf umrah, bukan pula thawaf haji, dan hukumnya sunat. Setelah thawaf qudum, boleh diikuti dengan sa’i atau tidak. Jika diikuti dengan sa’i, maka sa’i yang dikerjakan ini sudah termasuk sa’i haji. Maka pada saat melaksanakan thawaf ifad}ah, tidak perlu melakukan sa’i lagi.

c. Jika setelah melakukan thawaf qudum seorang jemaah sudah melaksanakan sa’i, maka jemaah ini tidak mengakhiri sa’i­nya dengan bercukur/ memotong rambut. Cukur dilaksanakan sesudah wukuf dan tiba di Mina setelah atau sebelum melontar Jamrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah;

­d. Pelaksanaan ibadah, dzikir dan doa Haji Qiran sejak dari wukuf sampai dengan selesai sama dengan pelaksanaan haji tamattu’;

e. Ketika jemaah melaksanakan thawaf ifadlah, ia harus melakukan sa’i jika pada waktu thawaf qudum belum melaksanakan sa’i;

f. Jemaah pada saat akan meninggalkan Makkah, wajib melaksanakan thawaf wada’.

3. Mengubah Niat:

Mengubah niat dari haji qiran menjadi tamattu’ hukumnya boleh, tetapi ia dikenakan dam nusuk dan dam mengubah niat. Sedangkan mengubah niat dari qiran ke ifrad hukumnya boleh tetapi cara ini dikenakan dam karena mengubah niat tanpa perlu kembali ke miqat.

4. Catatan;

Adakalanya Jemaah dari Arafah atau dari Muzdalifah, disebabkan oleh sesuatu hal, langsung ke Makkah. Untuk memastikan keabsahan ibadahnya dianjurkan melakukan langkah­langkah sebagai berikut;

1. Jemaah setelah wukuf di Arafah langsung ke Makkah

Jemaah yang langsung berangkat ke Makkah setelah wukuf di Arafah 9 Dzulhijjah, baik akibat tersesat maupun sengaja ke Makkah, hendaknya menunggu di Makkah hingga lewat tengah malam, kemudian melaksanakan thawaf ifad}ah, dilanjutkan mencukur atau memotong rambut (tahallul awal). Setelah itu, ia berangkat menuju Mina untuk melon­ tar Jamrah Aqabah (tah}allul tsani); dilanjutkan dengan mabit di Mina. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, tawaf ifadhah sah dilakukan paling cepat setelah lewat tengah malam 10 Dzulhijjah. *

* Al-Baihaqi, , Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, jilid 7, hlm. 291

2. Jemaah dari Muzdalifah langsung ke Makkah

Jemaah yang langsung berangkat ke Makkah setelah mabit di Muzdalifah, baik akibat tersesat maupun sengaja ke Makkah, hendaknya menunggu di Makkah hingga lewat tengah malam kemudian melaksanakan thawaf ifad}hah, dilanjutkan mencukur atau memotong rambut (tahallul awal). Setelah itu, ia berangkat menuju Mina untuk melon­ tar Jamrah Aqabah (tah}allul tsani); dilanjutkan dengan mabit di Mina.

Sumber:
TUNTUNAN MANASIK HAJI DAN UMRAH
@Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2020