A. Umrah
1. Pengertian Umrah
Menurut bahasa, umrah berarti ziarah. Menurut istilah, umrah berarti mengunjungi Baitullah (Ka’bah) dengan melakukan thawaf, sa’i dan bercukur demi mengharap rida Allah SWT.
2. Hukum Umrah
Menurut Imam Syafii dan Imam Hambali, menunaikan ibadah umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, menunaikan ibadah umrah hukumnya sunnah muakkadah (Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Juz III hal. 9).
Umrah terbagi menjadi dua: umrah wajib dan umrah sunat.
a. Umrah Wajib
1) Umrah pertama yang dilakukan seorang Muslim, disebut juga umratul Islam;
2) Umrah yang dilaksanakan karena nadzar.
b. Umrah Sunat
Umrah ini dilaksanakan setelah umrah wajib, baik untuk kali kedua dan seterusnya dan dilakukan bukan karena nadzar.
3. Waktu Mengerjakan Umrah
Umrah dapat dilaksanakan kapan saja, ke- cuali ada beberapa waktu yang dianggap makruh melaksanakan umrah bagi jemaah haji, yaitu saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah pada hari Arafah, hari Nah{r (10 Dzulhijjah), dan hari-hari tasyriq.
4. Syarat, Rukun, dan Wajib Umrah a. Syarat Umrah:
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Aqil (berakal sehat)
4) Merdeka (bukan hamba sahaya)
5) Istita’ah (mampu)
Bila tidak terpenuhi syarat ini, gugurlah kewajiban seseorang untuk berumrah.
b. Rukun Umrah:
1) Ihram (niat)
2) Thawaf
3) Sa’i
4) Cukur
5) Tertib (melaksanakan rukun umrah secara berurutan, yakni mulai dari ihram, thawaf, sa’i lalu bercukur)
Rukun umrah tidak dapat ditinggalkan. Bila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, umrah seseorang tidak sah.
c. Wajib Umrah
Wajib umrah adalah berihram dari mīqāt. Bila kewajiban ini dilanggar, ibadah umrah seseorang tetap sah tapi dia harus membayar dam.
d. Mīqāt Makānī
Miqat makani untuk umrah jemaah haji Indonesia bergantung pada gelombang berapa jemaah itu berangkat.
1) Jemaah haji gelombang I yang mendarat di Madinah mengambil miqat di Bir Ali (Zulhulaifah).
2) Jemaah haji gelombang II bisa mengambil miqat:
a) Di asrama haji embarkasi, atau
b) Di dalam pesawat ketika pesawat melintas sebelum atau di atas Yalamlam/Qarn al- Manazil, atau
c) Bandar Udara King Abdul Aziz (KAIA) Jeddah
3) Jemaah haji yang sudah berada/ mukim di Makkah mengambil miqat di Ji’ranah, Tan’im, Hudaibiyah, dan tanah halal lainnya.
5. Tahallul umrah
Tahallul umrah adalah keadaan seseorang setelah melaksanakan semua rukun umrah dan karena itu dihalalkan (dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama ber-ihram umrah.
6. Hukum Umrah Sunah Berulangkali Saat Haji
Menurut Imam Malik dan Ibn Taimiyah, makruh umrah lebih satu kali dalam setahun. Sekalipun Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat boleh, namun Imam Hanbali mensyaratkan minimal jeda sepuluh hari dari umrah sebelumnya. Sementara Ibn Abbas, Atha’ dan Thawus berpendapat bagi orang yang sudah mukim di Makkah (minimal empat hari), lebih utama melaksanakan tawaf sunah ketimbang umrah sunnah berulangkali (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 5 hlm. 14-17 Ibnu taimiyah, Al-Majmu’ al-Fatawa, juz 26 hlm. 142-143. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz 3 hlm. 16. Al-Jazairi, Fiqh alal Mazahib al-arba’ah, juz 1, 618).
B. Haji
1. Pengertian Haji
Haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan amalan-amalan, antara lain: wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, thawaf di Ka’bah, sa’i, dan amalan lainnya pada masa tertentu demi memenuhi panggilan Allah SWT dan mengharapkan ridla-Nya semata.
2. Hukum Haji
Ibadah haji adalah wajib bagi umat Islam yang telah memenuhi syarat. Ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup. Hukum haji kedua dan seterusnya adalah sunat. Tapi, bagi mereka yang bernadzar haji, hukum haji itu menjadi wajib akibat nadzar.
3. Waktu Mengerjakan Haji
Ibadah haji dilaksanakan pada bulan haji (Dzulhijjah), tepatnya ketika waktu wukuf di Arafah tiba (9 Dzulhijjah), hari Nahr (10 Dzulhijjah), dan hari- hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
4. Syarat, Rukun, dan Wajib Haji a. Syarat haji adalah:
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Aqil (berakal sehat)
4) Merdeka (bukan hamba sahaya)
5) Istita’ah (mampu).
Istita’ah berarti seseorang mampu melaksanakan ibadah haji ditinjau dari segi:
a) Jasmani:
Sehat, kuat, dan sanggup secara fisik melaksanakan ibadah haji.
b) Rohani:
1. Mengetahui dan memahami manasik haji.
2. Berakal sehat dan memiliki kesiapan mental untuk melaksanakan ibadah haji dengan perjalananyangjauh.
c) Ekonomi:
1. Mampu membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang ditentukan oleh pemerintah dan berasal dari usaha/ harta yang halal.
2. Biaya haji yang dibayarkan bukan berasal dari satu-satunya sumber kehi- dupan yang apabila sumber kehidupan itu dijual terjadi kemudlaratan bagi diri dan keluarganya.
3. Memiliki biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan.
d) Keamanan:
1. Aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji.
2. Aman bagi keluarga dan harta benda serta tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan.
3. Tidak terhalang, misalnya mendapat kesempatan atau izin perjalanan
haji termasuk mendapatkan kuota tahun berjalan, atau tidak mengalami pencekalan.
b. Rukun haji
Rukun haji adalah rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan amalan lain, walaupun dengan dam. Jika rukun ini ditinggalkan, ibadah haji seseorang tidak sah.
Rukun haji adalah :
1) Ihram (niat)
2) Wukuf di Arafah;
3) Thawaf ifadah;
4) Sa’I;
5) Cukur;
6) Tertib.
c. Wajib haji
Wajib haji adalah rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji yang bila salah satu amalan itu tidak dikerjakan ibadahhaji seseorang tetap sah tapi dia harus membayar dam. Jika seseorang sengajameninggalkan salah satu rangkaian amalan itu tanpa adanya uzur syar’i, ia berdosa. Wajib haji adalah:
1) Ihram, yakni niat berhaji dari mīqāt;
2) Mabit di Muzdalifah;
3) Mabit di Mina;
4) Melontar Jamrah Ulā, Wust}a dan Aqabah;
5) Thawaf wada’ (bagi yang akan meninggalkan
Makkah).
5. Macam-macam Pelaksanaan Haji
Berdasarkan pelaksanaan, ibadah haji dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Haji ifrād
Kata ifrād berarti menyendirikan. Artinya, seseorang melaksanakan ibadah haji saja tanpa melaksanakan umrah. Orang yang melaksanakan haji jenis ini tidak dikenakan dam dan dapat dilaksanakan dengan cara, yaitu:
1) Melaksanakan haji saja (tanpa melaksanakan umrah);
2) Melaksanakan haji dulu, lalu melaksanakan umrah setelah selesai berhaji.
Selain kedua cara tersebut, haji ifrad juga bisa dilakukan dengan dua acara yang lain. (1). Melaksanakan umrah di luar bulan-bulan haji, menyusul melaksanakan haji pada bulan haji; 2). Melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji kemudian pulang ke tanah air, menyusul pergi haji pada bulan-bulan haji di tahun yang sama.)
b. Haji qirān
Kata qirān berarti berteman atau bersamaan. Maksudnya, orang melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan dengan sekali niat untuk dua pekerjaan, tetapi diharuskan membayar dam
c. Haji tamattu’
Kata tamattu’ berarti bersenang-senang. Maksudnya, orang melaksanakan umrah terlebi dahulu pada bulan-bulan haji, lalu ber-tah}allul, kemudian berihrām haji dari Makkah atau sekitarnya pada 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyah) atau 9 Dzulhijjah tanpa harus kembali lagi dari miqat semula. Selama jeda waktu tahallul itu, dia bisa bersenang-senang karena tidak dalam keadaan ihrām dan tidak terkena larangan ih}rām tapi dikenakan dam.
C. Miqat
Ada dua jenis miqat, miqat zamani dan miqat makani. Miqat zamani adalah batas waktu melaksanakan haji. Menurut jumhur ulama’, miqat zamani dimulai sejak 1 Syawwal sampai terbit fajar 10 Dzulhijjah. Miqat makani adalah batas tempat untuk memulai ihram haji atau umrah.
Tempat berihram haji atau umrah adalah sejumlah tempat yang ditentukan sebagai miqat, sebagaimana sabda Nabi :
Artinya:
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Ra su lullah SAW. Menetapkan miqat bagi penduduk Madinah adalah Zulhulaifah, bagi penduduk Syam adalah Ju’fah, bagi pen duduk Najd adalah Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam”. Nabi bersabda, “Itu lah miqat bagi mereka dan bagi siapa saja yang datang di sana yang bukan penduduknya yang ingin haji dan umrah, bagi yang lebih dekat dari itu (dalam garis miqat), maka dia (melaksanakan) ihrām dari kampungnya, se hing ga penduduk Makkah ihrāmnya dari Makkah. (Muslim nomor hadits 1181) (HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas RA).
Adapun miqat jemaah haji Indonesia sebagai berikut :
1. Miqat makani jemaah haji gelombang I yang datang dari Madinah adalah Zulhulaifah (Abyar Ali).
2. Miqat makani jemaah haji gelombang II yang turun di Jeddah adalah :
a) Asrama haji embarkasi di tanah air.
Menurut jumhur ulama, berih}rām sebelum miqat mans}us} (yang ditentukan) adalah sah, berdasar hadis riwayat Umi Salamah:
Artinya:
Dari Ummu Salamah RA Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang berih}rām haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, maka diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan pasti mendapat surga.” (Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, jilid 7, hlm. 61) (HR. Al- Baihaqi dari Ummi Salamah RA).
Berihram sebelum miqat, menurut Abu Hanifah lebih afdhal (Sa’id Basyanfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al’Umrah, hlm. 67). Hanya saja penting diperhatikan bahwa bagi jemaah haji yang memulai ihram dari asrama haji embarkasi harus menjaga larangan ihram sejak niat ihram, selama dalam perjalanan (penerbangan lebih kurang 8-11 jam), hingga tahallul.
b) Di dalam pesawat, sesaat sebelum pesawat berada pada posisi sejajar dengan Qarnul manazil atau Yalamlam. Namun, mengingat pesawat bergerak dengan kecepatan lebih dari 800 km/jam, atau lebih dari 1 km/detik, jemaah haji hendaknya segera melaksanakan niat ihram setelah kru pesawat menyampaikan pengumuman bahwa pesawat mendekati posisi miqat.
c) Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Bandara ini dijadikan miqat setelah Mejelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 28 Maret 1980 tentang keabsahan Bandara Jeddah dijadikan miqat lalu fatwa tersebut dikukuhkan kembali pada 19 September 1981. Hanya saja, karena sejak 2018 pemerintah Arab Saudi menerapkan kebijakan percepatan masa keberadaan jemaah haji di bandara (fast track) sehingga mereka tak bisa lagi berlama-lama di bandara, jemaah haji kini sudah harus mengenakan pakaian ihram sejak dari asrama haji embarkasi karena mereka sudah tidak bisa lagi mandi sunat ihram, berganti pakaian ihram dan shalat sunah ihram di bandara Jeddah.
D. Ihram
Kata Ihram berasal dari kata احرم – يحرم – احراما, yang berarti mengharamkan. Dalam kontek haji dan umrah, ihrām berarti, الدخول فى الحرمة (masuk dalam keharaman). نية الدخول فى الحج او Sedangkan menurut istilah, ihrām artinya niat masuk (mengerjakan) ibadah haji العمرة atau umrah dengan mengharamkan hal-hal yang dilarang selama berih}rām. Dengan mengucapkan niat ihram haji atau umrah, seseorang berarti telah mulai melaksanakan haji atau umrah.
1. Sunah-Sunah ihram
Sebelum berihram, jemaah haji disunahkan :
a. Mandi;
b. Memakai wangi-wangian pada tubuhnya;
c. Memotong kuku dan merapikan jenggot, rambut ketiak dan rambut kemaluan;
d. Memakai kain ih}ram yang berwarna putih;
e. Shalat sunnah ihram dua raka’at.
2. Pakaian Ihram
Jemaah pria memakai dua helai kain ihram. Satu
kain disarungkan dan satu kain lainnya diselendangkan di kedua bahu dengan menutup aurat. Saat ia tawaf, disunahkan memakai kain ihram dengan cara idhtiba’, yaitu meletakkan bagian tengah selendang di bawah bahu kanan, sedangkan kedua ujungnya di atas bahu kiri.
Contoh Berpakaian Ihram Laki-Laki Selain Waktu Thawaf
Contoh Berpakaian Ihram Laki-Laki pada Waktu Thawaf
Jemaah perempuan memakai pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan kedua tangan dari pergelangan tangan sampai ujung jari (kaffain), baik telapak tangan maupun punggung tangan.
Contoh Berpakaian Ihram Perempuan 3. Larangan Ihram
Selama dalam keadaan ihram, seorang jemaah haji wajib menjaga dirinya agar tidak melanggar satu pun larangan ihram yang terdiri atas:
a. Laki-laki dilarang:
1) Memakai pakaian bertangkup (pakaian yang antar ujung kain disatukan secara permanen seperti celana atau baju)
2) Memakai kaos kaki atau sepatu yang menutupi mata kaki dan tumit;
3) Menutup kepala yang melekat seperti topi atau peci dan sorban.
b. Perempuan dilarang:
1) Menutup kedua telapak tangan dengan kaos tangan;
2) Menutup muka dengan cadar.
c. Selama berihram baik laki-laki maupun perempuan dilarang:
1) Memakai wangi-wangian kecuali yang sudah dipakai di badan sebelum niat haji/umrah;
2) Memotong kuku dan mencukur atau mencabut rambut dan bulu badan;
3) Memburu dan menganiaya/ membunuh binatang dengan cara apa pun, kecuali binatang yang membahayakan mereka;
4) Memakan hasil buruan;
5) Memotong kayu-kayuan dan mencabut rumput;
6) Menikah, menikahkan atau meminang perempuan untuk dinikahi;
7) Bersetubuh dan pendahuluannya seperti bercumbu, mencium, merayu yang mendatangkan syahwat;
8) Mencaci, bertengkar atau mengucapkan kata-kata kotor;
9) Melakukan kejahatan dan maksiat;
10) Memakai pakaian yang dicelup dengan bahan yang wangi.
4. Hal-hal yang diperbolehkan ketika ihram
Dalam kondisi ihram, jemaah diperbolehkan :
a. Membunuh binatang buas atau yang membayakan, misalnya kalajengking, tikus, ular, anjing buas, gagak, nyamuk, lalat;
b. Mandi; (Ulama Syafi’iyah membolehkan mandi menggunakan sabun, madzhab Hanafi tidak membolehkan mandi menggunakan sabun, madzhab Maliki membolehkan mandi hanya untuk mendinginkan badan, bukan untuk membersihkan badan. Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz III hlm. 239.)
c. Menyikat gigi;
d. Berbekam;
e. Memakai minyak angin, balsem, yang dimaksudkan untuk pengobatan;
f. Memakai kacamata, jam tangan, cincin, ikat pinggang;
g. Bernaung di bawah payung, mobil, tenda dan pohon;
h. Membuka tangan dan kaki bagi wanita ketika berwudhu di tempat wudhu perempuan;
i. Mencuci dan mengganti kain ihram;
j. Menggaruk kepala dan badan;
k. Menyembelih binatang ternak yang jinak dan binatang buruan laut;
l. Memakai perhiasan bagi wanita.
5. Ihram Isytirath
Ihram isytirath adalah ihram yang disertai dengan persyaratan. Hal ini dilakukan bila seseorang khawatir dia bakal terhalang oleh suatu masyaqqah (kesulitan) seperti sakit atau halangan lain saat melaksanakan ibadah haji atau umrah. Karena itu, seyogyanya seorang jemaah haji risti, lansia dan sakit melakukan ihram isytirat. Terlebih bagi jamaah sakit yang akan dievakuasi masuk ke Mekkah dan jemaah haji peserta safari wukuf saat ia berniat ihram sebelum menuju Arafah. Niat isytirat dilakukan dengan menambah kalimat isytirath setelah ia melafalkan niat ihram, sebagai berikut:
ٌَََََََََُِّّّْْٰيََََُْْْ ف ِيإن حبس ِين حابِيس اللهم فم ِيحل حيث حبس ِين.
Artinya:
Jika aku terhalang oleh sesuatu, ya Allah, maka akuakanbertah}allulditempat aku terhalangitu.
6. Tabdilun Niyat Atau Mengganti Niat
Tabdilun niyat adalah mengubah niat dari ihram haji menjadi niat ihram umrah atau sebaliknya. Hal ini dibolehkan jika:
a. Jemaah terbentur halangan akibat perawatan kesehatan; misalnya sejak awal seorang jemaah berniat haji ifrad tapi karena kondisi kesehatannya menuntutnya segera mengakhiri ihram, dia dibolehkan mengubah niat ihram menjadi niat umrah dan jenis haji yang dia laksanakan berubah jadi haji tamattu’;
b. Jemaah terbentur halangan syar’i seperti haidh. Misalnya seorang jemaah perempuan berniat ihram umrah dari miqat tapi sesampai di Mekkah dia tidak bisa menyelesaikan umrahnya karena belum suci, sementara waktu wukuf sudah tiba, dalam kondisi ini dia bisa mengubah niat ihram umrahnya menjadi niat haji qiran.
Jemaah haji yang melakukan perubahan niat dikenakan dam dengan menyembelih seekor kambing.
E. Talbiyah
1. Pengertian Talbiyah
Talbiyah menurut bahasa artinya pemenuhan, jawaban, pengabulan terhadap sebuah panggilan dengan niat dan ikhlas. Menurut istilah, talbiyah berarti ungkapan kalimat yang diucapkan untuk memenuhi panggilan Allah SWT dalam keadaan ihr ām haji atau umrah.
2. Hukum Membaca Talbiyah
Menurut Imam Abu Hanifah, hukum membaca talbiyah adalah syarat sah ih}rām. Menurut Imam Maliki, hukum membaca talbiyah wajib. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, hukum membaca talbiyah adalah sunat.
3. Waktu Membaca Talbiyah
Talbiyah mulai dibaca setelah niat ih}rām dari miqat, baik ihram haji maupun ihram umrah. Waktu berakhirnya bacaan talbiyah adalah:
a. Ketika orang yang berumrah hendak memulai tawaf bagi jemaah yang melakukan umrah;
b. Ketika orang yang berhaji telah selesai
melontar Jamrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah bagi jemaah yang melaksanakan haji, lalu mengganti talbiyah dengan bacaan takbir.
4. Bacaan Talbiyah
Jemaah laki-laki membaca talbiyah dengan suara keras, sedangkan perempuan membaca talbiyah dengan suara pelan. Bacaan talbiyah adalah sebagai berikut :
a. Talbiyah
ََََََََََََََََََََُّّّّّّّْْْْْٰ ليك اللهم ليك، ليك ل شيك لك ليك، ِيإن
ا ْلَْمَد َوالنِّيْعَمَةلَ َك َوالُْملْ َك، َل ِيَشيْ َكلَ َك. ِي
Artinya:
Aku datang memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan- Mu, aku datang memenuhi panggilan- Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan dan segenap ke kuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.
8 Al-Bukhari, nomor hadits 1549, lafal Talbiyah dari Nabi SAW.
b. Shalawat
َََُِّّّٰيََِّيََََََََََُِّّْْٰيَ اللهم صل وسلم ع سي ِيدنا مم ٍد وع ا ِيل سي ِيدنا
Artinya:
Ya Allah limpahkan rahmat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya.
c. Doa setelah shalawat
اَللُّٰهَّم ِيإنَّانَْسأَلَُك ِيرَضاَك َواْلََّنَة َوَنُعْوُذبِيَك ِيمْن
َسَخِيطَكَواَّلناِير،َرَّبنَاآتِينَاِيفاُّلدْنيَا َحَسنًَةَوِيفاْلِيخَرِية
َ َ َ ً َ َ َ َ َ َّ حسنة و ِيقنا عذاب النا ِير.
Artinya:
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon keridhaan-Mu dan surga-Mu, kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan- Mu dan siksa neraka. Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka.
F. Tawaf
1. Pengertian
Tawāf menurut bahasa berarti mengeli lingi. Sedangkan menurut istilah berarti mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dengan posisi Ka’bah berada di sebelah kiri, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di Hajar Aswad.
2. Syarat sah thawaf
a. Suci dari hadas dan najis;
b. Menutup aurat;
c. Berada di dalam Masjidil Haram termasuk
di area perluasan pada lantai dua, tiga, atau empat, meskipun dengan posisi melebihi ketinggian Ka’bah dan terhalang antara dirinya dengan Ka’bah;
d. Memulai dari Hajar Aswad;
e. Ka’bah berada di sebelah kiri;
f. Di luar Ka’bah (tidak di dalam Hijir Ismail);
g. Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran;
h. Niat tersendiri, jika thawaf yang dia lakukan berdiri sendiri, tidak terkait dengan haji dan umrah.
3. Sunah-Sunah Tawaf
a. Memegang Hajar Aswad, menciumnya, serta meletakkan jidat di atasnya pada awal tawāf. Namun semua sunah ini tidak dianjurkan bagi perempuan kecuali jika tempat t}awāf lengang. Jika tidak memungkinkan, cukup semua itu dilakukan dengan isyarah melalui tangan kanan.
b. Membaca doa ma’tsur pada saat memulai t} awāf setelah istilām sambil mengangkat tangan:
c. Melakukan ramal (berjalan cepat) bukan berlari bagi kaum lelaki dan tidak membuat lompatan pada putaran pertama sampai ketiga, dan berjalan biasa pada putaran selanjutnya;
d. Melakukan idhthiba’ bagi laki-laki, yaitu meletakkan bagian tengah selendang di bawah bahu kanan, sedangkan kedua ujungnya diletakkan di atas bahu kiri, sehingga bahu kanan terbuka dan bahu kiri tertutup;
e. Mendekat pada Ka’bah bagi kaum laki-laki jika sekeliling Ka’bah tidak dalam kondisi penuh sesak dan membuatnya menderita, sedangkan bagi kaum perempuan disunnahkan menjauh dari Ka’bah;
f. Berjalan kaki bagi yang mampu; bagi yang tidak mampu dapat menggunakan kursi roda atau skuter matik;
g. Mengusap rukun Yamani.
4. Macam-Macam Tawaf
Tawaf ada lima macam yaitu tawaf rukun, tawaf qudum, tawaf sunat, dan tawaf wada’ dan tawaf nadzar.
a. Tawaf rukun
Tawaf rukun ada dua, yaitu tawaf rukun haji yang disebut tawaf ifadhah atau tawaf ziyarah, dan tawaf rukun umrah.
b. Tawaf Qudum
Tawaf qudum merupakan penghormatan kepada Baitullah. Bagi jemaah yang melakukan haji ifrad atau qiran, hukum tawaf qudum adalah sunat, dilaksanakan di hari pertama kedatangannya di Mekkah. Bagi jemaah haji yg melakukan haji tamattu tidak disunahkan melakukan tawaf qudum karena tawaf qudum yang ia lakukan sudah termasuk di dalam tawaf umrah.
c. Tawaf sunat
Tawaf sunat adalah tawaf yang dikerjakan dalam setiap kesempatan masuk ke Masjidil Haram dan tidak diikuti dengan sa’i.
d. Tawaf wada’
Tawaf wada’ merupakan penghormatan akhir kepada baitullah. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan kebanyakan ulama, hukum tawaf wada’ adalah wajib bagi jamaah haji yang akan meninggalkan Makkah. Jemaah yang meninggalkan tawaf wada’ dikenakan dam satu ekor kambing berdasarkan hadis Riwayat Bukhari Muslim bahwa Nabi SAW memberikan rukhsah (keringanan) kepada perempuan yang haid untuk tidak tawāf wada’.
Berdasar hadist ini disimpulkan bahwa hukum t}awāf wada’ adalah wajib sebab rukhs}ah hanya berlaku dalam hal yang wajib (Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah wa al- Ziyarah, hlm. 112). Perempuan yang haid atau nifas tidak diwajibkan melakukan tawaf wada’. Penghormatan kepada Baitullah cukup dilakukan dengan berdoa di depan pintu gerbang Masjidal-harām.
Menurut pendapat Imam Malik, Dawud, dan Ibnu Mundzir, hukum tawaf wada’ adalah sunah. Seseorang yang tidak mengerjakan tawaf wada’ tidak diharuskan membayar dam (Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah wa al- Ziyarah, hlm. 113). Menurut Imam Malik, orang sakit atau użur dapat mengikuti pendapat ini (Nūruddin Etar, al-Haj wa al-Umrah, hlm. 123-126).
e. Tawāf nazar
tawāf nazar hukumnya wajib dikerjakan dan waktunya kapan saja.
5. Tawaf Bagi Jemaah Uzur
Jemaah uzur atau sakit dapat melakukan tawaf dengan kursi roda di lantai satu, lantai dua, atau lantai empat. Kursi roda bisa dibawa sendiri oleh jemaah atau menyewanya berikut biaya jasa pendorong. Jemaah uzur atau sakit juga dapat melakukan tawaf dan sa’i dengan menggunakan ‘arabah kahrubaaiyyah (skuter matik) roda empat bertenaga baterai. Penggunaan fasilitas ini dilakukan dengan cara menyewa dan disediakan. Fasilitas ini disediakan secara khusus di lantai tiga mezzanine.
Tidak ada perbedaan di kalangan para ahli fikih tentang diperbolehkannya jemaah udzur, lansia atau sakit, melakukan tawaf dengan menggunakan kursi roda atau skuter. Ibnu Qudamah mengatakan
ل نعلم بين ٱهل العلم خلافا ف صحة طواف الراكب إذاكانلهعذر
Artinya;
Aku tidak mengetahui adanya khilaf di antara para ahli ilmu mengenai sahnya thowaf dengan berkendara, di kala ada udzur (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 5 hal. 249).
Menurut Syafi’iyah, tawaf dengan berjalan kaki hukumnya sunnah (Thawaf berjalan kaki lebih utama dibanding dengan thawaf berkendara. An Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 8, hlm. 36. Sa’id Basyanfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al’Umrah, hlm. 211). Namun, bagi jemaah yang tidak dalam kondisi uzur, para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang tidak membolehkan tawaf dengan kendaraan dengan alasan hukum yang berlaku dalam tawaf sama dengan yang berlaku dalam salat. Kalangan Malikiyah dan Hanifiyah membolehkannya namun harus membayar dam karena berjalan kaki saat tawaf adalah wajib. Ada pula ulama yang membolehkan tawaf menggunakan kendaraan, antara lain diungkapkan oleh Imam Ibn Mundzir, dengan alasan Nabi sendiri pernah melaksanakan tawaf dengan mengendarai unta. Tawaf berkendaraan ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika haji wada’. sebagaimana hadist berikut :
عن ابن عباس رضى الله عنه قال طاف النبى صلى الله عليه وسلم ف حجة الوداع ع بعير يستلم الركن بمحجن
Artinya :
Dari Ibnu Abbas Ra berkata: Rasulullah Saw tawaf pada waktu haji wada’ dengan mengendarai unta sambil menyalami rukun Yamani dengan tongkat. (Al-Bukhari, nomor hadits 1607; Muslim, nomor hadits 1272.) (HR. Al- Bukhari dari Ibnu Abbas ra.)
G. Sa’i
1. Pengertian
Sa’i menurut bahasa artinya ‘’berjalan’’ atau ‘’berusaha’’. Menurut istilah, sa’i berarti berjalan dari safa ke Marwah, bolak-balik sebanyak tujuh kali yang dimulai dari safa dan berakhir di Marwah, dengan syarat dan cara-cara tertentu.
2. Hukum Sa’i
Menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, sa’i adalah salah satu rukun haji dan umrah yang harus dikerjakan oleh jemaah haji; jika seseorang tidak mengerjakan sa’i maka ibadah haji dan umrahnya tidak sah. Sedangkan menurut Imam Hanafi, sa’i adalah salah satu wajib haji yang harus dikerjakan oleh jemaah haji; jika seseorang tidak mengerjakannya ia harus membayar dam. Menurut Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibn Abbas, Ibn Zuhair dan Ibn Sirrin, sa’i itu hukumnya sunnah, dan tidak ada dam bagi yang meninggalkan. (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarḥ al-Muhadzdzab, Juz.VII, hlm. 104)
3. Syarat Sa’i
a. Didahului dengan thawaf;
b. Dimulai dari bukit s}afa dan berakhir di buki Marwah;
c. Menyempurnakan tujuh kali perjalanan dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan sebaliknya dihitung satu kali perjalanan;
d. Dilaksanakan di tempat Sa’i.
4. Sunah Sa’i
a. Setelah mendekati bukit s}afa membaca:
b. Berjalan biasa di antara s}afa dan Marwah, kecuali di sepanjang lampu hijau, jemaah laki-laki disunatkan berjalan cepat (berlari- lari kecil); jemaah haji perempuan tidak disunahkan lari-lari kecil;
c. Saat naik ke bukit s}afa menghadap Kiblat dan membaca :
d. Dalam perjalanan antara s}afa dan Marwah jemaah berzikir kepada Allah atau membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan berdoa untuk keselamatan dunia dan akhirat;
e. Mengerjakan sa’i secara berturut-turut (muwalat) tanpa berhenti kecuali ada uzur.
5. Sai Bagi jemaah Udzur
Bagi orang yang sehat, kuat dan mampu berjalan, sebaiknya sa’i dilakukan dengan berjalan kaki, sedangkan bagi yang udzur disebabkan lemah atau sakit, boleh dilakukan dengan digendong, menggunakan kursi roda atau naik skuter matik (Sa’i dengan berjalan kaki adalah sunnah menurut golongan madzhab Syafi’i, madzhab Maliki dan dalam satu riwayat madzhab Hambali. Sementara itu menurut madzhab Hanafi, sa’i dengan berjalan kaki hukumnya wajib dan apabila ditinggalkan wajib membayar dam. Berjalan kaki murupakan syarat sa’i menurut satu riwayat dalam madzhab Hambali dan Maliki. Sa’id Basyanfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al’Umrah, hlm. 234). Sa’i boleh naik kendaraan berdasarkan hadits sebagai berikut.
َََََُُّّّ
عن جابر بن عبدالله يقول طاف الن ِيب صلى الله
ََْ ََََّ ََ َ َ َْْ علي ِيه وسلم ف حجة الوداع ع را ِيحل ِيت ِيه، بِياليَ ِيت،
ََََََََََََُُُُُّّْْْْ وباالصفا والمرو ِية لِييراه الناس، و ِيليشف ، ِيليسألوه،
ِي
ف َ ِيإ َّن ا َّلن ا َس َغ ُش و ُه
Artinya;
Dari Jabir bin ‘Abdullah ra. berkata; Nabi Saw ketika tawaf pada haji wada’ dengan menaiki tunggangannya , dan juga ketika sa’i di Safa dan Marwah, orang ramai melihatnya dan beliau dapat menyelia untuk mereka bertanya kepada beliau, maka sesungguhnya orang ramai mengerumuni beliau. (17 Muslim, nomor hadits, 1273. Al-Bukhari nomor hadist, 1633) (HR.Muslim dari Jabir ra.).
Apabila seseorang tanpa udzur melakukan sa’i dengan naik kendaraan maka hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh, hanya saja ini menyelisihi yang lebih utama dan tidak ada kewajiban membayar dam atasnya (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab li as-Syirazi juz, VII hal. 103.).
6. Ketentuan Lain
Selain itu, ada beberapa ketentuan terkait dengan sa’i sebagai berikut :
a. Menurut jumhur ulama’, dalam sa’i tidak dipersyaratkan seseorang harus suci dari hadas besar dan hadas kecil;
b. Sa’i dikerjakan setelah tawaf ifadhah dan tawaf umrah;
c. Bagi jemaah yang melaksanakan haji ifrad dan qiran tidak perlu melakukan sa’i lagi ketika melakukan tawaf ifadhah jika ia telah melaksanakan sa’i setelah tawaf qudum;
d. Tidak ada sa’i sunat
H. Wukuf
1. Pengertian
Menurut bahasa wukuf berarti berhenti. Menurut istilah, wukuf artinya berhenti atau berdiam diri di Arafah dalam keadaan ihrām walau sejenak dalam waktu antara tergelincir Matahari pada 9 Dzulhijjah (hari Arafah) sampai terbit fajar hari nahar 10 Dzulhijjah. Wukuf di Arafah termasuk salah satu rukun haji. Jemaah yang tidak mengerjakan wukuf di Arafah berarti tidak mengerjakan haji sesuai sabda Nabi SAW:
الج عرفة فمن جاء ليلة جمع قبل طلوع الفجر فقد ادرك الج
Artinya :
Haji itu hadir di Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam hari jam’in (10 Dzulhijjah sebelum terbit fajar) maka sesungguhnya ia masih mendapatkan haji (At-Tirmidzi nomor hadits 889, hadits ini diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan dan Ahmad.) (HR. At-Tirmidzi dari Abdurrahman bin Ya’mar RA).
2. Ketentuan Pelaksaan Wukuf
Wukuf dilakukan setelah khutbah wukuf dan shalat jamak qashar taqdim Zuhur dan Ashar. Wukuf dilakukan dalam suasana tenang, khusyu’dan tawadhu’ kepada Allah. Wukuf dapat dilaksanakan secara berjamaah atau sendiri-sendiri. Selama wukuf, jemaah memperbanyak dzikir, istighfar, shalawat dan doa sesuai sunnah Rasulullah SAW. Dalam melaksanakan wukuf seseorang tidak dipersyaratkan suci dari hadas besar maupun kecil. Karena itu, perempuan yang sedang haidh atau nifas boleh melaksanakan wukuf. Jemaah haji yang sakit dan berada dalam perawatan di rumah sakit atau KKHI dan memungkinkan dibawa ke Arafah bisa melaksanakan wukuf lewat proses safari wukuf.
I. Mabit
Menurut bahasa, mabit berarti bermalam. Menurut istilah, mabit berarti bermalam di Muzdalifah dan bermalam di Mina untuk memenuhi ketentuan manasik haji.
1. Mabit di Muzdalifah
Mabit di Muzdalifah adalah bermalam atau beristirahat di Muzdalifah pada 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah dan hukumnya wajib. Mabit di Muzdalifah dianggap sah bila jemaah berada di Muzdalifah melewati tengah malam, walau ia hanya mabit sesaat. Pada saat mabit hendaknya seseorang banyak membaca talbiyah, dzikir, istighfar, berdoa atau membaca al-Qur’an. Beberapa hal yang terkait hukum mabit di Muzdalifah :
a. Menurut sebagian besar ulama’, hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib.
b. Sebagian ulama’ lain menyatakan sunat.
c. Jemaah haji yang tidak mabit karena uzur syar’i seperti sakit, mengurus orang sakit, tersesat jalan dan lain sebagainya, tidak diwajibkan membayar dam.
2. Mabit di Mina
Mabit di Mina adalah bermalam pada malam hari tanggal 11 sampai 12 Dzulhijjah bagi nafar awal dan bermalam pada malam hari tanggal 11 sampai 13 Dzulhijjah bagi nafar tsani. Hukum mabit di Mina adalah wajib. Beberapa hal terkait dengan ketentuan mabit di Mina:
a. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ibnu Hanbal, hukum mabit di Mina adalah wajib. Jemaah haji yang tidak mabit selama satu malam wajib membayar satu mud. Jemaah yang tidak mabit dua malam wajib membayar dua mud. Sedangkan jemaah yang tidak mabit di Mina selama tiga malam wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing.
b. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat baru (qaul jadid) Imam Syafi’i, hukum mabit di Mina sunat. Bagi jemaah haji yang tidak mabit di Mina tidak diwajibkan membayar dam.
c. Mabit di Mina dinyatakan sah bila jemaah haji berada di Mina lebih dari separuh malam. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa mabit di Mina sah bila jemaah sempat hadir di Mina sebelum terbit fajar yang kedua (fajar shadiq) (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarkh al-Muhadzab li Syairazi, juz 8, hlm. 223; lihat juga al-Izz bin Abdl Salam, al-Ghayah fi Ikhtishar an-Nihayah, jilid 3, hlm. 108).
d. Tempat mabit bagi sebagian besar jamaah haji Indonesa adalah Harratul Lisan. Sejak 1984 pemerintah Arab Saudi terus memperluas kawasan Mina hingga sejak 2001 sebagian jemaah haji mendapatkan perkemahan perluasan mina atau disebut tausi’atu mina. Hal ini dilakukan mengingat wilayah Mina terbatas, sedangkan jumlah jemaah haji semakin bertambah.
e. Mabit di perluasan Mina (tausi’atu Mina) adalah sah. Hal ini diputuskan dalam Mudzakarah ulama’ Indonesia tentang ‘’Mabit di Luar Kawasan Mina’’ pada 10 Januari 2001 di Jakarta yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Selain itu, mufti besar Kerajaan Arab Saudi Syaikh Bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin juga memberikan fatwa bahwa mabit di perluasan Mina adalah sah (Menurut Syaikh Bin Baz “Jemaah haji yang tidak mendapatkan tenda di kemah Mina, hendaknya dia keluar ke Muzdalifah dan Aziziyah atau selain keduanya untuk melaksanakan mabit,”.Bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 17 hal 359-364. Sedangkan menurut Syaikh ‘Utsaimin, “Tidak ada masalah melakukan mabit di wilayah Muzdalifah karena alasan kepadatan jamaah di Mina, selama kemah di Muzdalifah tersambung dengan Mina.” Al-‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa, juz 23 hal.241.).
J. Melontar Jamrah
Melontar jamrah adalah melontar batu kerikil ke arah jamrah Sughra, Wustha dan Kubra dengan niat mengenai objek jamrah (marma) dan kerikil masuk ke dalam lubang marma. Melontar jamrah dilakukan pada hari nahar dan hari tasyrik.
1. Hukum Melontar
Hukum melontar jamrah adalah wajib; bila seseorang tidak melaksanakannya dikenakan dam/ fidyah
2. Tata Cara Melontar
a. Kerikil mengenai marma dan masuk lubang;
b. Melontar dengan kerikil satu per satu. Melontar dengan tujuh kerikil sekaligus dihitung satu lontaran;
c. Melontar jamarat dengan urutan yang benar, mulai jamrah Sughra, Wustha dan Kubra.
3. Waktu Melontar
a. Melontar Jamrah Aqabah dilakukan pada 10 Dzulhijjah dimulai sejak lewat tengah malam dan lebih afdhol dilakukan setelah Matahari terbit. Namun, mengingat padatnya jemaah haji yang melontar pada waktu itu, dianjurkan melontar dilakukan mulai siang hari.
b. Waktu melontar pada hari Tasyriq tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah menurut jumhur ulama dimulai setelah tergelincir Matahari. Namun, Imam Rafi’i dan Imam Isnawi dalam mazhab Syafi’i membolehkan melontar sebelum Matahari tergelincir (qabla zawāl), yang dimulai sejak terbit fajar. Pendapat tersebut dapat diamalkan meskipun sebagian ulama menilai d}a’īf/lemah (Keputusan Muktamar ke- 29 NU 4 Desember 1994).
c. Untuk keamanan, keselamatan, kenyamanan dan ketertiban dalam melontar jamrah, pemerintah Arab Saudi telah mengatur jadwal waktu melontar bagi jamaah haji setiap negara. Jemaah haji harus mengikuti ketentuan jadwal tersebut dan menghindari waktu-waktu larangan.
d. Jemaah haji yang mengalami udzur syar’i diperbolehkan mengakhirkan melontar jamrah dengan cara melontar Jamrah Sughra, Wustha dan Kubra secara sempurna sebagai qadha lontaran untuk hari pertama. Setelah itu jemaah berbalik lagi menuju posisi Jamrah Ula kemudian memulai lagi melontar tiga jamrah yang sama secara berturut-turut sebagai qadha hari kedua. Setelah itu, jemaah menuntaskan lontaran hari terakhir bagi nafar tsani.
4. Mewakilkan Melontar
Orang yang użur syar’i disebabkan sakit atau hal lain (Kategori udzur syar’i yang boleh mewakilkan lontar jamrah adalah jemaah haji usia lanjut yang mengalami kesulitan, jemaah sakit yang menyebabkan kesulitan dan keadaan lain yang menghalangi. Majlis Ulama Indonesia, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VI 2018, hal. 43) boleh mewakilkan kewajibannya melontar jamrah kepada orang lain dengan salah satu cara sebagai berikut:
a. Orang yang mewakilkan orang lain melontar jamrah terlebih dulu untuk dirinya sendiri sampai sempurna masing-masing tujuh kali lontaran, mulai dari Sughra, Wust}a, dan Kubra. Kemudian ia kembali melontar untuk yang diwakilinya mulai dari Sughra, Wusta, dan Kubra.
b. Orang yang mewakilkan orang lain melontar Jamrah Ula terlebih dulu untuk dirinya sendiri sampai sempurna masing-masing tujuh kali lontaran, kemudian dia melontar lagi tujuh kali lontaran untuk yang diwakili tanpa harus terlebih dulu menyelesaikan jamrah Wust} a dan Kubra. Demikian seterusnya tindakan yang sama ia lakukan di Jamrah Wustha dan Jamrah Kubra.
K. Bercukur Atau Memotong Rambut
Dalam rangkaian ibadah haji/umrah, bercukur merupakan salah satu rukun haji/umrah, khususnya menurut mazhab Syafi’i, dan tidak sempurna haji/ umrahnya jika tidak mencukur rambut. Sedangkan menurut tiga mazhab lainnya, hukum bercukur adalah wajib, jika ditinggalkan wajib membayar dam (Sa’id Basyanfar, al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wa al’Umrah, hlm. 304.).
Bercukur dalam ibadah umrah dilakukan setelah jemaah umrah melaksanakan tawaf dan sa’i. Dalam ibadah haji, praktek yang lazim dilakukan, bercukur dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah jemaah melempar Jamrah Kubra. Inilah yang disebut tahallul awal. Namun, bercukur bisa dilaksanakan baik sebelum maupun setelah lempar Jamrah Aqabah.
Madzhab Syafi’i membolehkan bercukur sebelum lontar jamrah. Ibn Umar meriwayatkan, pada saat hari nahar, ada seorang jemaah haji yang berdiri di dekat jumrah dan bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya telah bercukur sebelum saya melaksanakan lempar jamrah.” Rasul menjawab, “Lakukan lemparan jamrah dan tidak ada dosa” (irmi wala haraj) (Al-Bukhari nomor hadits 1722, Muslim nomor hadits 1306.) (HR. Al- Bukhari dari Ibnu ‘Umar RA).
Menurut imam Malik mencukur sebelum lontar jamrah wajib membayar dam, sedangan menurut imam Ahmad bercukur sebelum lontar karena alpa atau tidak tahu tidak terkena dam, tetapi jika sengaja wajib membayar dam (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarkh al-Muhadzab li as-Syairazi, juz 8, hlm. 194.).
Adapun tata cara menggunting (memotong) rambut sebagai berikut:
1. Jemaah laki-laki memotong rambut kepala atau mencukur gundul. Rasulullah mendoakan rahmat dan ampunan tiga kali bagi yang mencukur gundul dan sekali bagi yang memendekkannya (Al-Bukhari nomor hadits 1727-1728). Jika mencukur gundul, jemaah bisa memulainya dari separuh kepala bagian kanan kemudian separuh bagian kiri;
2. Jemaah perempuan hanya memotong rambut kepala dengan cara mengumpulkan rambutnya kemudian memotongnya sebatas ujung jari;
3. Jumlah rambut kepala yang dipotong minimal
tiga helai rambut. Bagi Jemaah yang tidak memiliki rambut kepala, disunatkan untuk menempelkan dan menggerakkan alat cukur di kepala. Mencukur rambut kepala tidak boleh digantikan dengan mencukur rambut lain, misalnya kumis atau rambut yang lain.
L. Tahallul
Tahallul adalah keadaan seseorang yang telah dihalalkan melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama ihram. Tahallul dibagi menjadi dua macam:
1. Tahallul Umrah
Tahallul umrah adalah keadaan seseorang setelah melaksanakan semua rukun umrah dan karena itu dihalalkan (dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihram umrah.
2. Tahallul haji
Tahallul haji terdiri atas dua macam:
a. Tahallul awal, yaitu keadaan seseorang yang telah melakukan dua di antara kegiatan berikut ini:
1) Melontar Jamrah Aqabah kemudian memotong rambut kepala atau bercukur; atau
2) Tawaf ifadhah dan sa’i kemudian memotong rambut atau bercukur.
Setelah tahallul awal, jemaah boleh berganti pakaian biasa, memakai wewangian dan melakukan semua larangan ihram, kecuali bercumbu dan bersetubuh dengan pasangan.
b. Tahallul tsani adalah keadaan ketika seorang jemaah telah melakukan tiga kegiatan haji, yaitu melontar Jamrah Aqabah, memotong atau mencukur rambut, dan tawaf ifadhah serta sa’i. Setelah tahallul tsani, jemaah boleh bersetubuh dengan pasangannya.
M. Dam
Dam adalah bahasa Arab yang menurut bahasa berarti darah. Menurut istilah, dam berarti mengalirkan darah dengan menyembelih ternak unta, sapi atau kambing di tanah haram dalam rangka memenuhi ketentuan manasik haji. Setiap pelanggaran dalam haji dikenakan denda sesuai dengan jenis pelanggaran. Denda berlaku setelah satu jenis pelanggaran terjadi.
Ada tiga jenis dam dalam manasik haji, masing- masing:
1. Dam Nusuk; sesuai ketentuan manasik dam ini dikenakan pada jemaah haji yang mengerjakan haji tamattu’ atau qiran bukan karena melakukan kesalahan. Seseorang yang melaksanakan haji tamattu’ atau qiran wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing. Bila tidak sanggup melakukannya, dia wajib menggantinya dengan berpuasa 10 hari dengan ketentuan tiga hari dilakukan selama dia beribadah haji di Makkah dan tujuh hari sisanya dilakukan sesudah kembali ke Tanah Air. Bila tidak mampu berpuasa tiga hari semasa haji di Tanah Suci, dia harus melaksanakan puasa 10 hari di Tanah Air, dengan ketentuan tiga hari pertama dilakukan sebagai pengganti kewajiban berpuasa tiga hari pada waktu melaksanakan haji di Makkah, kemudian ia membuat jeda minimal empat hari, untuk kemudian berpuasa lagi tujuh hari sisanya sebagai kewajiban setelah tiba di Tanah Air.
2. Dam Isa’ah adalah dam yang dikenakan pada orang yang melanggar aturan atau melakukan kesalahan karena meninggalkan salah satu wajib haji atau wajib umrah, masing-masing:
a) Tidak berihram/niat dari mīqāt;
b) Tidak melakukan mabit di Muzdalifah;
c) Tidak melakukan mabit di Mina;
d) Tidak melontar jamrah;
e) Tidak melakukan thawaf wada’.
Apabila melanggar salah satu wajib haji di atas, seseorang dikenakan dam dengan menyembelih seekor kambing.
3. Dam kifarat adalah dam yang dikenakan pada seseorang karena ia mengerjakan sesuatu yang diharamkan selama ihram. Jenis dam kifarat sebagai berikut:
a. Melanggar larangan ihram dengan sengaja, seperti mencukur rambut, memotong kuku, memakai wangi-wangian, memakai pakaian biasa bagi laki-laki, menutup muka, serta memakai sarung tangan bagi perempuan. Sebagai sanksinya dari setiap jenis pelanggaran di atas boleh memilih antara:
1) Membayar dam seekor kambing;
2) Membayar fidyah, bersedekah kepada enam orang miskin masing-masing 1⁄2 s}ha’ (2 mud =1 1⁄2 kg) berupa makanan
pokok; atau
3) Menjalankan puasa tiga hari.
b. Melanggar larangan ihram berupa membunuh hewan buruan. Sanksinya berupa denda menyembelih ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuh. Jika tidak sanggup membayar dam tersebut, dia wajib membayarnya dengan makanan pokok seharga binatang tersebut. Bila benar-benar tidak mampu, dia harus menggantinya dengan puasa, dengan perbandingan setiap hari = 1 mud makanan (3⁄4 kg beras).
c. Melanggar larangan ihram bersetubuh dengan istri/suami, baik sebelum tahallul awwal maupun sesudah tahallul awwal. Apabila bersetubuh dengan istri/suami dilakukan sebelum tahallul awal, maka hajinya batal, diwajibkan menyelesaikan hajinya dengan tetap berlaku larangan ih}rām, wajib mengulang haji tahun berikutnya secara terpisah serta harus membayar kifarat seekor unta. Apabila bersetubuh dengan istri/suami dilakukan setelah tahallul awal, hajinya tidak batal dan harus membayar kifarat seekor unta. Bila tidak sanggup, dia harus menggantinya dengan menyembelih seekor sapi. Bila tidak mampu, dia menggantinya dengan menyembelih tujuh ekor kambing. Bila tidak mampu juga, dia harus menggantinya dengan memberi makan seharga unta kepada fakir miskin di tanah haram. Kalau tidak mampu juga, dia harus berpuasa dengan hitungan satu hari untuk setiap mud dari harga unta. Pendapat lain mengatakan, jika pelanggaran serupa ini dilakukan sesudah tah}allul awwal, dam yang harus dia tebus hanya seekor kambing.
N. Nafar
Nafar menurut bahasa artinya rombongan. Menurut istilah, nafar adalah keberangkatan jemaah haji meninggalkan Mina pada hari tasyrik. Nafar terbagi menjadi dua:
1. Nafar awal, yaitu keberangkatan jemaah haji meninggalkan Mina pada 12 Dzulhijjah, paling lambat sebelum Matahari terbenam, setelah melontar Jamrah Sughra, Wustha dan Kubra.
2. Nafar tsani, yaitu keberangkatan jemaah haji meninggalkan Mina pada 13 Dzulhijjah setelah melontar jamrah Sughra, Wustha dan Kubra.
Meninggalkan Mina boleh dengan cara nafar awwal atau tsani. Keutamaan nafar, tidak dilihat dari berapa lama jemaah haji mabit di Mina, melainkan dari ketakwaannya (al-Baqarah [2]: 203).
O. Kekhususan Haji Perempuan
Ketentuan ibadah haji bagi laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama, kecuali jemaah perempuan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Menutup aurat seluruh tubuh dengan busana Muslimah kecuali muka/wajah dan pergelangan tangan sampai ujung jari;
2. Tidak mengeraskan suara ketika berdzikir, berdoa dan membaca talbiyah;
3. Tidak berlari-lari kecil saat tawaf dan sa’i;
4. Tidak disunatkan mengecup Hajar Aswad tapi cukup dengan memberi isyarat mengangkat/ menghadapkan telapak tangan ke arah batu hitam kemudian mengecup tangannya. Hukum mencium Hajar Aswad bagi perempuan adalah mubah; tidak mendapat pahala apabila melakukan, dan tidak berdosa apabila meninggalkan;
5. Tidak mencukur rambut (gundul) tapi cukup memotong ujung rambutnya minimal tiga helai;
6. Semua rukun dan wajib haji boleh dilaksanakan perempuan dalam kondisi haidh atau nifas, kecuali tawaf. Apabila terjadi haidh setelah tawaf, ia boleh melanjutkannya dengan bersa’i dengan cara memampatkan (menyumpal) jalan darah haidh supaya tidak menetes;
7. Perempuan yang hendak melakukan haji tamattu’ namun terhalang haidh sebelum selesai umrah, maka ia harus:
a. Menunggu suci kemudian melaksanakan tawaf, sa’i dan cukur;
b. Bila menjelang berangkat ke Arafah belum suci, dia mengubah niat menjadi haji qiran dengan dikenakan dam satu ekor kambing.
8. Jika jemaah perempuan segera pulang padahal belum melaksanakan tawaf ifadhah, maka langkah-langkah yang harus ia lakukan secara berurutan adalah:
a. Menunda tawaf dan menunggu sampai suci jika dia memiliki cukup waktu dan tidak terdesak oleh waktu kepulangan;
b. Meminum obat sekadar untuk memampatkan kucuran darah jika dia adalah jemaah haji gelombang I kloter awal yang harus segera balik ke tanah air; (Penggunaan pil anti haidh untuk kepentingan ibadah haji hukumnya mubah, namun demikian penggunaan pil anti haidh tersebut hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram. Namun jika niatnya untuk kepentingan ibadah haji hukumnya mubah. Ahmad Kartono, et all, Ibadah Haji perempuan Menurut para Ulama Fikih, (Jakarta: Siraja Prenada Media Grup 2013), hlm. 132.)
c. Mengintai atau mengintip kondisi dirinya sendiri seandainya ada sela-sela hari atau waktu yang diperkirakan kucuran darah haid mampat dalam durasi yang cukup untuk sekadar melaksanakan tawaf tujuh putaran. Jika dia mendapati saat-saat kucuran darah haidnya mampat, jemaah perempuan itu harus segera mandi haid lalu menutup rapat lubang tempat darah berasal dengan pembalut yang dimungkinkan tidak keluar apalagi menetesi masjid. Selanjutnya dia melakukan tawaf. Jika setelah dia tawaf darahnya keluar lagi, kondisi ini namanya, artinya lebih tepat diartikan bersih النقاء yang kemungkinan tidak keluar darah. Ini pendapat salah satu qoul Imam Syafi’i
d. Mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah, yang membolehkan perempuan haidh melakukan thawaf tetapi wajib membayar dam seekor unta.
e. Mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang tidak menjadikan suci sebagai syarat sahnya tawaf jika kondisi yang dihadapi jemaah perempuan ini darurat, misalnya dia harus segera pulang ke tanah air dan menuju ke Madinah berdasarkan jadwal penerbangan yang ada, lalu segera melaksanakan tawaf ifadhah dengan menutup rapat-rapat tempat darah keluar dengan pembalut agar tidak ada setetes pun darah jatuh ke lantai masjid selama dia melaksanakan tawaf ifadhah. Jemaah perempuan yang melakukan cara ini tidak dikenakan dam.
P. Kekhususan Haji Jemaah Haji Lansia, Sakit dan Berisiko Tinggi (RISTI)
Jumlah jemaah haji dengan kondisi fisik lemah dan berisiko tinggi (risti) akibat usia lanjut menempati urutan teratas di antara ratusan ribu jumlah jemaah haji Indonesia. Sebagian besar Jemaah menderita sakit selama berada di tanah suci. Agar ibadah yang mereka lakukan tetap sempurna meski dengan sejumlah keterbatasan, jemaah haji perlu memahami ruhshah-ruhshah (keringanan hukum) dalam ibadah haji. Dengan demikian, kondisi lemah dan sakit tidak menghalangi mereka untuk tetap melaksanakan haji sesuai dengan syari’at dan hakikat sehingga ibadah haji mereka sah, sempurna, dan mabrur. Berikut rukhshah-rukhshah dalam ibadah haji (Sub bab ini diringkas dari buku, Ahmad Baidhowi, Kiat Meraih Mabrur Bagi Jemaah Haji Lemah dan Sakit, (Jakarta : Kementerian Agama RI, 2019).).
1. Di Madinah
a. Hukum berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, shalat arba’in dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah lainnya adalah sunnah. Para jemaah haji yang tidak sempat berziarah di Madinah akibat uzur, tidak berdosa. Mereka tetap bisa menyampaikan salam kepada Nabi dan membaca shalawat atas Rasulullah di hotel tempat mereka tinggal, atau di rumah sakit bagi yang dirawat.
b. Melaksanakan salat arba’in, yaitu salat wajib 40 waktu di Masjid Nabawi secara berjamaah, adalah anjuran. Jemaah haji lemah, lansia, risti dan sakit, sebaiknya tidak memaksakan diri untuk melakukan salat Arba’in di Masjid Nabawi dengan tetap salat berjamaah di hotel tempat mereka tinggal secara berjamaaah sebab salat di hotel-hotel di Madinah juga mendapatkan keutamaan salat di tanah haram Madinah. Sesekali tentu saja dianjurkan kepada para jemaah lansia dan risti ini untuk berusaha salat di Masjid Nabawi.
2. Ihram dari Miqat
a. Jemaah haji gelombang I disarankan melakukan sejumlah amalan sunnah ihram di miqat Abyar Ali. Namun untuk jemaah haji lemah, lansia dan risti, mereka dianjurkan untuk memakai pakaian ihram dan shalat sunah ihram di hotel tempat tinggal mereka di Madinah. Setiba di Abyar Ali jemaah tidak perlu turun dari bus, cukup melafalkan niat ihram haji atau ihram umrah dari dalam bus saat bus hendak berangkat.
b. Bagi jamaah haji gelombang II yang hendak melaksanakan ihram haji atau ihram umrah di atas pesawat hendaknya melaksanakan sunnah-sunnah ihram sejak dari asrama embarkasi menjelang berangkat
dan mengenakan pakaian ihram sejak di embarkasi.
c. Jemaah haji lemah, lansia, risti dan sakit, ketika mengucapkan niat ihram umrah/haji sangat dianjurkan isytirat, yaitu niat ihram umrah atau ihram haji yang disertai dengan mengucapkan syarat “aku niat haji/umrah, apabila aku sakit atau terhalang maka aku tahallul di tempat di mana aku terhalang.”
d. Setelah mengucapkan niat haji/umrah
dengan isytirat, jemaah haji lemah, lansia, risti dan sakit hendaknya melanjutkan aktivitas ibadah dengan berdzikir dengan membaca talbiyah diselingi doa, yang dibaca sepanjang perjalanan menuju Makkah dan berhenti membaca talbiyah saat tiba di Hajar Aswad hendak memulai tawaf bagi yang melaksanakan umrah.
3. Makkah
a. Setelah tiba di Makkah dan menempati kamar hotel, jemaah haji lemah, lansia dan risti dianjurkan tidak terburu-buru menuju Masjidil Haram. Mereka disarankan beristirahat dan tidur yang cukup untuk memulihkan kebugaran tubuh. Rasulullah SAW ketika melaksanakan haji wada’ bermalam di Dzi Tua lebih dulu untuk beristirahat, lalu salat subuh dan mandi, kemudian ke Masjidil Haram untuk thawaf dan sa’i.
b. Perjalanan tawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali putaran harus dalam keadaan suci dari hadats dan najis. Sedangkan sa’i tujuh kali perjalanan antara Shafa dan Marwa disunahkan dalam keadaan suci. Jika jemaah haji lemah dan sakit kebetulan menderita beser dan buang angin terus-menerus, mereka boleh dan sah melaksanakan tawaf tidak dalam keadaan suci dari hadats kecil dan tidak dikenakan dam. Para ulama sepakat barang siapa terkena najis yang tidak mungkin dihilangkan, misalnya orang yang kencing terus-menerus atau istihadhah, dia dapat melaksanakan tawaf tanpa dikenakan sanksi apa pun (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid I haji hal. 588.).
c. Tawaf dan sa’i dapat menggunakan kursi roda, baik dengan membawa sendiri atau menyewa. Jemaah bisa menggunakan jasa sewa skuter matik yang disediakan khusus di lantai tiga mezzanine. Pengelola Masjidil Haram menyediakan skuter matik dengan dua model, single dan double. Skuter dapat digunakan untuk tawaf sekaligus sa’i dalam waktu sekitar satu jam. Tawaf dan sa’i dengan cara digendong, menggunakan kursi roda atau sekuter matik, adalah sah secara hukum.
d. Menurut Ibnu ‘Abbas RA seluruh tanah haram Makkah adalah Masjidil Haram (Al-Fâkihî, Akhbâr Makkah, juz 2 hal.106, nomor hadits 1223.). Para jemaah haji lemah dan sakit tidak perlu memaksakan diri salat fardhu di Masjidil Haram jika bisa berakibat buruk pada kesehatan fisik mereka. Jemaah yang melaksanakan salat berjamaah di pondokan/hotel atau di masjid sekitarpondokan, tetap mendapat keutamaan yang sama dengan salat di Masjidil Haram. Apalagi, pada dasarnya, selalu salat di pondokan juga mendapat keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah SAW karena selama menunggu haji beliau tidak pernah mendekati Ka’bah dan salat di Abthah, tempat beliau tinggal (Ketika melaksanakan haji wada’ dan tiba di Makkah, Rasulullah SAW tinggal di Abtah setelah selesai tawaf dan sa’i menunggu haji. Selama di Abthah, beliau tidak pernah ke Ka’bah hingga selesai wukuf di Arafah. Perbuatan Nabi ini dijadikan dasar oleh para ulama bahwa seluruh tanah haram Makkah memiliki keutamaan sebanding dengan keutamaan Masjidil Haram. At- Tharîrî, Ka’annaka Ma’ahu Shifatu Hijjati an-Nabî SAW hal. 69. Lihat juga, Al-Kurdî, Maqâm Ibrâhîm ‘Alaihi as-Salâm hal. 160.).
e. Akibat keterbatasan kondisi fisik, para jemaah haji lemah dan sakit hendaknya membatasi diri dalam melaksanakan ibadah sunnah yang dapat menguras tenaga semacam umrah, terlebih lagi umrah sunah yang berulangkali dilakukan. Jemaah sebaiknya menjaga kesehatan dan kebugaran dengan menyimpan tenaga demi menyelesaikan rukun dan wajib haji, terutama wukuf di Arafah.
f. Hukum berziarah ke tempat bersejarah adalah mubah guna mengambil i’tibar. Jemaah haji yang lemah, lansia dan risti, sebaiknya tidak memaksakan diri berziarah.
4. Arafah, Muzdalifah, Mina
a. Ketika diberangkatkan dari Makkah ke Arafah pada hari tarwiyah 8 Dzulhijjah, jemaah haji lemah, lansia dan risti sangat dianjurkan berniat ihram haji isytirat seperti ketika mereka berniat isytirat untuk umrah.
b. Jika sebagian jemaah di kloter ada yang menuju Mina pada 7 Dzulhijjah, jemaah haji lemah dan sakit tidak perlu mengikuti kegiatan ke Mina tersebut, apalagi dengan berjalan kaki. Hukum melaksanakan perjalanan ke Mina sebelum Arafah adalah sunah.
c. Pada saat di Arafah hendaknya semua jemaah haji hendaknya berlapang dada, tidak menggerutu atau mengeluh, ketika menerima fasilitas yang terbatas. Sebab tujuan di Arafah adalah untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
d. Karena fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) terbatas, jemaah yang memiliki kebiasaan sering buang air kecil sebaiknya menerapkan sifat sabar ketika antre mendapatkan giliran.
e. Bagi jemaah lansia, sakit dan risti, ada dua kemungkinan cara berhaji /wukuf. Apa pun jenis haji yang diambil, jemaah haji hendaknya menerima ketentuan itu dengan ikhlas karena Allah SWT. Kedua cara tersebut:
1) Jemaah haji yang mampu secara fisik, sehat dan kuat, atau dalam kondisi sakit ringan dihadirkan di Arafah pada 9 Dzulhijjah untuk melakukan wukuf, bersama-sama dengan rombongan satu kloter.
2) Jemaah haji yang dirawat di rumah sakit melakukan wukuf dengan dua kemungkinan.
a) Jemaah haji sakit yang tidak bergantung pada alat dibawa ke Arafah dengan bus atau ambulans yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk menjalani proses safari wukuf. Wukuf dilakukan hanya sejenak di siang hari 9 Dzulhijjah di dalam bus atau ambulans. Selesai wukuf, jemaah haji diantar kembali ke rumah sakit untuk menjalani perawatan selanjutnya.
b) Jemaah haji yang dirawat di rumah sakit dan fisiknya benar-benar lemah, dengan kondisi yang tidak memungkinkan hadir di Arafah walaupun dengan cara safari wukuf, tidak perlu khawatir karena proses hajinya dibadalkan.
f. Jemaah yang wafat sebelum ke Arafah 9 Dzulhijjah, baik wafat saat di embarkasi, dalam perjalanan, di Madinah atau di Makkah, dibadalhajikan oleh petugas haji. Pelaksanaan badal haji dibuktikan dengan sertifikat badal haji yang dikeluarkan oleh ketua PPIH Arab Saudi.
g. Mabit di Muzdalifah, yaitu bermalam atau berhenti sejenak pada malam 10 Dzulhijjah, adalah salah satu wajib haji yang tidak boleh ditinggalkan kecuali oleh jemaah yang mendapat uzur syar’i. Mereka tidak dikenai dam, sebagaimana Rasulullah SAW memberikan izin kepada Saudah RA untuk bertolak dari Muzdalifah ke Mina lebih awal sebelum jemaah haji lainnya bertolak ke Mina karena alasan lambat berjalan akibat badan yang gemuk.
h. Di Arafah, jemaah haji sakit yang menjadi peserta safari wukuf atau yang dirujuk dan dirawat di rumah sakit dikategorikan sebagai jemaah yang mengalami uzur syar’i. Mereka diberi keringanan untuk tidak melakukan mabit di Muzdalifah dan tidak dikenai dam. Demikian juga jemaah sakit yang sedang mabit di Mudzalifah kemudian dirujuk dan dirawat di rumah sakit.
i. Di Mina, jemaah haji sakit yang menjadi peserta safari wukuf atau yang dirujuk dan dirawat di rumah sakit dikategorikan sebagai jemaah haji uzur syar’i yang diberi keringanan tidak melakukan mabit di Mina; mereka tidak dikenai dam.
j. Mewakilkan lontar jamrah hukumnya sah. Karena itu, kewajiban melontar Jamrah Kubra (Aqabah) pada 10 Dzulhijjah dan melontar Jamrah Sughra, Wustha dan Kubra pada 11 – 13 Dzulhijjah bagi jemaah lemah, lansia dan risti seyogyanya diwakilkan oleh keluarga, teman seregu atau petugas haji.
k. Jemaah haji lemah, lansia dan risti yang kewajiban melontar jamaratnya telah diwakilkan kepada orang lain hendaknya segera mencukur rambut untuk tahallul awal setelah menerima laporan dari orang yang mewakilinya bahwa kewajibannya melontar Jamrah Kubra (Aqabah) pada 10 Dzulhijjah telah ditunaikan. Sesuai tuntunan Rasulullah SAW, bagi laki-laki diutamakan mencukur gundul, bagi wanita cukup memotong rambutnya sepanjang ruas jari.
l. Jemaah haji peserta safari wukuf yang dirawat di rumah sakit pada 10 Dzulhijjah boleh mencukur rambut tanpa menunggu laporan dari petugas yang mewakilinya. Setelah mendapat laporan dari yang mewakili bahwa jamrah sudah dilontar berarti sudah tahallul.
5. Makkah Pasca Armuzna
a. Setibanya di Makkah pasca mabit di Mina, jemaah haji dianjurkan untuk beristirihat yang cukup agar kembali bugar dan selanjutnya bersiap-siap melaksanakan tawaf ifadhah. Jemaah haji lemah, lansia dan risti dianjurkan melakukan tawaf ifadhah menggunakan kursi roda atau skuter matic. Bagi jemaah yang disafari wukufkan, yang terhalang tidak bisa melaksanakan thawaf ifadhah, tawaf ifadhahnya dibadalkan dan dilaksanakan oleh petugas haji.
b. Jemaah haji lemah, lansia dan risti sebaiknya tidak memburu ibadah-ibadah sunnah yang membutuhkan tenaga ekstra pasca mabit di Mina, misalnya dengan selalu datang untuk salat berjama’ah di Masjidil Haram, melakukan umrah sunnah, atau melakukan tawaf sunnah berulang- ulang.
c. Sebelum meninggalkan Makkah, jamaah haji lemah, lansia dan risti dianjurkan melakukan tawaf wada’ dengan menggunakan kursi roda atau skuter matik jika kondisi di sekitar Ka’bah penuh sesak.
d. Jemaah haji lemah dan sakit yang benar- benar tidak mampu melakukan tawaf wada’ dapat mengambil pendapat Imam Malik yang mengatakan hukum tawaf wada’ adalah sunnah dan bagi orang sakit atau uzur yang meninggalkan tawaf wada’ tidak dikenakan dam.
Q. Badal Haji
Badal secara bahasa berarti mengganti, mengubah, atau menukar. Badal haji adalah diwakilkannya pelaksanaan ibadah haji seseorang oleh orang lain. Badal haji diberlakukan bagi :
1. Orang yang sudah berkewajiban melaksanakan haji (haji pertama/haji Islam bukan haji sunat) atau haji nazar namun kemudian wafat, baik dia berwasiat atau tidak;
2. Orang yang sudah mencapai derajat isthitha’ah kemudian dia sakit berat sehingga timbul masyaqqah sebelum pelaksanaan haji (ma’dhub).
3. Jemaah haji Indonesia yang sudah berangkat/ berada ke Arab Saudi, kemudian sakit berat atau wafat sebelum wukuf, maka hajinya dibadalkan. Jemaah yang berhak dibadalkan pelaksanaan hajinya adalah:
a) Jemaah yang meninggal dunia di asrama haji embarkasi, di perjalanan, atau di Arab Saudi sebelum melaksanakan wukuf;
b) Jemaah yang sakit dan tidak dapat disafariwukufkan karena pertimbangan keselamatan atau sangat bergantung pada peralatan medis;
c) Jemaah yang mengalami gangguan jiwa.
Badal haji dilaksanakan oleh petugas haji yang ditunjuk dan dibiayai oleh pemerintah. Pihak keluarga atau jemaah tidak dikenakan biaya atas pelaksanaan badal haji. Sebagai bukti atas pelaksanaan badal haji, pemerintah melalui Ketua Daker Makkah akan memberikan sertifikat badal haji kepada keluarganya.
Sumber:
TUNTUNAN MANASIK HAJI DAN UMRAH
@Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2020