Secara sederhana, apa yang dimaksud dengan hikmah dan filosofi haji dalam buku ini adalah makna, nilai, rahasia, faedah atau manfaat yang terkandung di balik amalan-amalan haji, baik amalan fisik maupun amalan ruhani. Setelah membaca bab ini diharapkan jemaah haji dapat mendalami aspek terdalam dari rukun Islam kelima ini sehingga mendapatkan predikat mabrur.
A. Hikmah Umrah
Umrah secara bahasa berarti ziyârah, artinya berkunjung atau bertamu. Orang yang sedang umrah atau haji dikatakan sebagai tamu Allah. Dari makna itu bisa dipahami bahwa ibadah umrah memberikan pesan kepada umat manusia tentang pentingnya berkunjung dan bersilaturahim kepada sanak keluarga dan sesama manusia, terlebih berkunjung dan menyambung tali hubungan kepada Allah SWT.
Hubungan sesama manusia semakin kuat jika ia sering saling sapa dan saling berkunjung. Demikian pula hubungan manusia dengan Allah SWT akan semakin kuat jika ziyârah itu sering dilakukan. Jika hubungan manusia dengan-Nya kuat, Allah akan mencurahkan rahmat dan anugerah kepadanya. Inilah yang disabdakan baginda Rasulullah Muhammad SAW yang artinya: َ
Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW bersabda: ‘’Antara satu ibadah umrah dengan ibadah umrah lain merupakan penghapus dosa dan kesalahan yang diperbuat di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.’’ (HR. Muttafaqun ’Alaih).*
* Al-Bukhari, nomor hadits: 1773 dan Muslim, nomor hadits: 1349
B. Hikmah Haji
Haji secara bahasa berarti al-qashd, artinya sengaja atau sadar. Ada juga yang mengatakan haji adalah al-‘aud; artinya kembali dan at-tikrâr atau berulang kali. Dari sini bisa dipahami, pelajaran penting dari ibadah haji adalah mengajak manusia untuk selalu sadar bahwa ia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran ini harus terus ada dalam sanubari seorang manusia agar ia berhasil menggapai kebahagiaan hakiki.
Haji juga mengajarkan manusia tentang kesadaran terus-menerus untuk kembali kepada Allah. Mengapa kesadaran kembali ini perlu terus digelorakan? Kehidupan dunia itu melenakan dan menggiurkan. Manusia bisa lupa bahwa ia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Haji mengajak semua umat manusia agar ingat tentang kesadaran innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Al- Baqarah[2]:156
Kesadaran tentang hal di atas akan mengantarkan manusia kepada kesucian hakiki. Karena itu, orang yang berhaji secara serius dan total akan kembali layaknya bayi yang baru lahir dari rahim ibunya sebab ia sadar betul akan status kehambaannya di hadapan Allah. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW:
Abi Huraerah RA berkata: Saya mendengar Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang melaksanakan haji karena Allah dengan tidak berbuat rafas (kata-kata kotor) dan tidak berbuat fusuq (durhaka), dia kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya (tanpa dosa) (HR. Bukhari dan Muslim). *
* Al-Bukhari, nomor hadits: 1521 dan Muslim, nomor hadis: 1350
Kesucian fitrah sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas akan mengantarkan seseorang kepada kenikmatan surga, sesuai sabda Rasulullah SAW:
Dari Abi Huraerah ra., Rasulullah SAW bersabda: Haji yang mabrur tiada imbalan yang setara kecuali surga. (HR. Muttafaq ’Alaih). *
* Al-Bukhari, nomor hadits: 1773 dan Muslim, nomor hadis: 1349
C. Hikmah Mīqāt Zamānī dan Mīqāt Makānī
Mīqāt zamānī adalah ketentuan waktu untuk melaksanakan ibadah haji, sedangkan mīqāt makānī adalah ketentuan tempat di mana seseorang harus memulai niat haji atau umrah. Kedua mīqāt tersebut mengisyaratkan tentang pentingnya tempat (ruang) dan waktu dalam menjalani semua aktivitas, baik ibadah maupun aktivitas lainnya. Kebutuhan manusia terhadap ruang dan waktu juga menunjukkan bahwa ia tidak sempurna, makhluk lemah dan tak berdaya. Di sisi lain, seseorang yang mampu mengatur ruang dan waktu dengan baik dan disiplin sesuai aturan hukum yang berlaku akan berhasil menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah selama hidup di muka bumi.
Secara lahiriah miqat adalah tempat atau waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW sebagai pintu masuk untuk memulai haji. Sementara secara spiritual, miqat adalah batas antara alam fisik (lahiriah) dan alam metafisik (batin/ghaib). Mulai dari miqat inilah, seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji harus menancapkan tekad dan niatnya untuk masuk ke dalam alam malakut. Dari titik miqat inilah, ia akan bersiap-siap berangkat menuju Baitullah (rumah Allah).
Karena hendak bertamu kepada Allah yang Maha Suci, tak ada pilihan lain bagi calon tamu kecuali menyucikan jiwa dan batinnya, mengosongkan segenap orientasi duniawi dan mengisinya dengan orientasi ukhrawi. Karena Allah adalah Dzat yang Maha Suci, maka hanya mereka dengan raga dan jiwa yang suci sajalah yang akan ditemui saat ia bertamu kepada-Nya. Jika kalam-Nya saja tidak dapat dipahami kecuali oleh mereka yang suci,* bagaimana mungkin Dzat-Nya yang Agung dapat digapai tanpa kesucian?
* Lihat QS. Al-Waqi’ah[56]: 79
Karena itu, memasuki miqat, orang yang berhaji harus benar-benar mempersiapkan diri, baik secara lahir terlebih batin, agar pada saat sampai di rumah- Nya ia benar-benar siap dan layak menjadi tamu-Nya. Ia benar-benar pantas mendapatkan sambutan-Nya, layak untuk dipersilakan masuk ke rumah-Nya. Pendek kata, ia benar-benar pantas mendapatkan kucuran kasih sayang-Nya.
D. Hikmah Mandi Sebelum Berihram
Mandi sebelum berihram mengisyaratkan bahwa seseorang yang dipanggil Allah SWT untuk datang ke Baitullah seyogyanya dalam keadaan yang sempurna — badan, hati, dan lisannya bersih dari kotoran yang melekat, baik lahir maupun batin. Dzat yang Suci hanya dapat ditemui oleh mereka yang suci. Karena itu Allah mencintai orang-orang yang senang bersuci — menyucikan badan, pikiran dan batinnya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.” Al-Baqarah [2]:222
E. Hikmah Memakai Pakaian Ihram
Melepas pakaian sehari-hari dan menggantinya dengan dua helai kain ihram menggambarkan keadaan orang yang meninggal dunia. Dia harus melepaskan semua atribut dan urusan dunia dan berganti dengan kain kafan. Pakaian dunia inilah yang kerap membuat manusia lupa diri sehingga mudah berbuat salah dan dosa. Karena itu, pakaian dunia sebagai simbol dari kesombongan dan kecongkakan harus dilepas agar ia diterima oleh Allah SWT. Ketika Nabi Musa AS bermunajat, misalnya, dia diperintah- kan untuk melepas sandal sebagai lambang pakaian dunia. Allah SWT berfirman:
Sungguh Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwā. Thāhā [20]: 12.
Demikian pula orang yang melaksanakan ibadah haji, saat hendak memasuki tanah suci, baitullah, dia harus melepas pakaian duniawi itu, harus menanggalkan kebiasaan buruk yang melekat dalam dirinya agar diterima oleh Allah SWT.
Pakaian ihram memiliki arti pembebasan diri dari keinginan hawa nafsu dan daya tarik luar selain Allah. Ihram melambangkan penyerahan jiwa raga sepenuhnya kepada kebesaran dan keindahan Dzat dan sifat Allah, membebaskan dari ikatan kedudukan, pangkat, darah, keturunan, harta, dan status sosial lainnya yang sering merusak tali persaudaraan. Ihram mengajari umat manusia tentang kesamaan dan kesetaraan di hadapan Allah. Dia tidak melihat pangkat dan jabatan. Apa yang Dia lihat adalah ketakwaan dan amal kebaikan. َ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Tapi, Allah hanyalah melihat hati dan amalan kalian.”* (HR. Muslim, dari Abi Hurairah RA)
* Muslim, nomor hadits 2564
Ketika sudah mengenakan pakian ihram, seseorang dilarang atau diharamkan melakukan dosa dan kemaksiatan, baik kepada sesama manusia, binatang, tetumbuhan, terlebih kepada Allah. Rafats, fusuq, jidal dan berburu binatang di tanah haram dilarang karena aktivitas tersebut dapat memalingkan hati manusia dari perasaan sama dan setara sesama makhluk di hadapan Tuhan.
Status kehambaan hanya dapat terwujud secara total ketika manusia mampu menundukkan ego dan kesombongannya. Indikator kesombongan manusia antara lain dapat dilihat dari pakaiannya; orang kaya berpakaian mahal, si miskin berpakaian murah. Pakaian ihram mengajari semua manusia tentang status kehambaan yang sejati. Manusia diajak untuk menghilangkan sekat-sekat sosial, diajari untuk mengingat hakekat kehidupan bahwa ia berasal dari- Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Saat berada di tanah air, seseorang dapat menyombongkan diri dengan pakaian yang dikenakannya. Tapi saat ia bertamu di rumah- Nya, kesombongan itu tak patut disemai. Ia harus ditanggalkan dan ditinggalkan. Ganti pakaian kesombongan itu dengan pakaian berwarna putih bersih, layaknya kain kafan, penanda kesucian dan penyerahan diri. Lewat ibadah haji, setiap jemaah haji hendaknya menampakkan semangat kesederhanaan, kesetaraan, dan kebersamaan di hadapan Allah.
F. Hikmah Membaca Talbiyah
Talbiyah adalah jawaban atas panggilan Allah SWT untuk melaksanakan haji, yang diucapkan seseorang ketika memasuki ihram haji atau umrah. Seseorang yang mengucapkan talbiyah harus didahului de- ngan sikap yang tulus/ikhlas, ongkos atau biaya haji/ umrahnya diperoleh dari harta yang halal, hatinya bersih dari sifat riya, sombong, dan ingin dipuji. Dia menunjukkan perasaan khusyu’ (merendahkan diri) kepada Allah SWT untuk menyaksikan keagungan dan kebesaran-Nya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Ketika seseorang yang akan berhaji keluar dari rumah dengan nafakah (ongkos haji) yang baik (halal), kemu- dian dia meletakkan kakinya di atas kendaraan lalu mengucapkan “Aku sambut panggilan-Mu Ya Allah, aku sambut panggilan-Mu”, akan ada suara yang memanggil dari langit, “Aku sambut panggilanmu dan kebahagiaan yang tiada tara untukmu, bekal- mu dari yang halal dan kendaraanmu halal, hajimu mabrur tidak tercampur dengan dosa.” Apabila sese- orang yang akan berhaji keluar dari rumah dengan bekal yang haram, maka ketika dia naik kendaraan lalu mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah” tiba-tiba terdengar suara dari langit “tidak, aku tidak menyambut panggilanmu dan engkau tidak mendapatkan kebahagiaan, bekalmu dari harta yang haram dan nafkahmu haram, hajimu, tidak mabrur”*
* (HR. ath-thabrani). At}-thabrānī, Mu’jam al-Ausath, nomor hadits:6/ 5224.. – 166 –
Talbiyah adalah lantunan suara ketakberdayaan hamba di depan Tuhannya. Talbiyah juga wujud kesyukuran hamba atas nikmat panggilan menunaikan ibadah haji. Dengan membaca talbiyah, hakekatnya manusia sedang diajak untuk masuk ke dalam alam kehambaan sejati, mengakui keagungan dan kemahakuasaan Allah SWT.
Saat melantunkan lafadz talbiyah, hati akan bergetar tak terperi, menunduk dan merintih menangis di hadapan Ilahi. “Aku memenuhi panggilanmu ya Rabb. Tak ada sekutu bagi-Mu ya Rabb. Segala macam pujian dan semua jenis kekuasaan hanya milik-Mu ya Rabb.” Kalimat ini mengisyaratkan ketundukan dan keberserahan diri, sebuah pengakuan seorang hamba yang tak punya apa-apa, yang lemah, dan tak kuasa bahkan terhadap dirinya sendiri.
G. Hikmah Thawaf
Thawaf artinya mengitari atau mengelilingi. Secara istilah thawaf berarti mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad.
Thawaf dimulai dengan mengucapkan Bismillahi Allahu Akbar. Kalimat takbir menandakan bahwa dalam memulai aktivitas apa pun, setiap manusia harus punya kesadaran dalam dirinya bahwa hanya Tuhan yang Maha Besar. Manusia tak ada apa- apanya di hadapan Tuhan. Kesadaran mendalam ini harus tertanam dalam sanubari sehingga tak ada kesombongan dan kezaliman dalam menjalani proses kehidupan.
Allah SWTberfirman:
…dan lakukanlah thawaf di sekeliling rumah tua (Baitullah). Al-Hajj [22]: 29.
Thawaf membawa pesan maknawi berputar pada poros bumi yang paling awal dan paling dasar. Tujuh putaran melambangkan tujuh langit yang mengelilingi Arsy. Tujuh putaran juga mengingatkan kita semua bahwa langit dan bumi diciptakan oleh Allah sebanyak tujuh lapis. Tujuh putaran juga mengingatkan bahwa ada tujuh hari dalam seminggu. Bahkan surat Al-Fatihah yang dilantunkan umat Islam saat salat juga terdiri atas tujuh ayat (as- sab’ al-matsani). Pada hari ketujuh pula, umat Islam disunahkan memotong rambut bayi yang baru lahir dan menyembelih kambing dalam ritual akikah. Ini tentu bukan kebetulan, pasti ada hikmah dan rahasia mengapa angka tujuh menjadi pilihan Tuhan di dalam hukum alam-Nya. Ada sebagian ulama berpendapat, angka tujuh adalah simbol dari pentingnya konsistensi dalam menjalani aktivitas. Manusia tak boleh menyerah hanya karena gagal dalam aktivitas pertama dan kedua. Ia harus terus mencoba dan mencoba, bangkit tak kenal lelah, untuk menggapai tujuan hidupnya.
Sedangkan lingkaran pelataran Ka’bah merupakan gambaran arena pertemuan manusia de- ngan Allah. Selama pertemuan itu berlangsung, hanya kalimat thayyibah yang layak untuk dilantunkan; mulai dari dzikir, ayat-ayat Al-Qur’an, shalawat dan do’a. Kalimat thayyibah ini dibaca dengan penuh penghayatan, agar kita menyadari hakikat manusia sebagai makhluk-Nya, hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta dan ketergantungan manusia terhadap Tuhannya.
Thawaf mengajak untuk mengikuti perputaran waktu dan peredaran peristiwa, namun tetap berdekatan dengan Allah SWT dengan menempat- kan Tuhan Maha Rahman itu pada tempat yang se- mestinya dan menjadikan diri sebagai hamba-Nya yang taat dan tunduk pada-Nya.
Di sisi lain, Ka’bah merupakan simbol berkumpul (matsabatan). Ketika orang-orang berkumpul di sekeliling Ka’bah untuk melakukan thawaf, mereka bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga bersama ruh dan jiwa, semuanya menghadap dan menuju Allah SWT. Jadi, setiap orang yang sedang thawaf diharap- kan tidak hanya mengelilingi Ka’bah secara fisik, tapi hatinya juga selalu ingat pada Allah dan menghayati apa yang dia baca. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya:
Dari Ali Ibn Abu ta} lib berkata, aku mendengar Nabi SAW berkata kepada Abu Hurairah: “Engkau akan menemukan orang yang lupa dan lalai ketika melaksanakan thawaf, thawaf mereka tidak diterima Allah dan amal mereka tidak sampai kepada Allah. Hai Abu Hurairah: Jika kamu melihat mereka berbaris-baris (thawaf ), maka bubarkanlah barisannya dan katakanlah kepada mereka: thawaf ini tidak diterima oleh Allah dan amal mereka tidak sampai kepada Allah”. (Al-Fakihi, Akhbar Makkah, nomor hadits. 338 – 170 -) (HR.Al-Fakihi dari Ali RA) *
* Al-Fakihi, Akhbar Makkah, nomor hadits. 338
Saat seseorang menjalankan thawaf, kadang tempat berputar terlihat sepi dan lengang, kadang berdesak-desakan. Kendati demikian, orang yang menjalankan thawaf tidak boleh marah, tidak boleh mengeluh, ia harus terus fokus mengitari Ka’bah hingga selesai tujuh kali putaran. Saat selesai berputar tujuh kali, ia bergembira dan wujud dari kegembiraan itu ia ekspresikan dengan lantunan doa dan salat sunnah di belakang maqam Ibrahim.
Kondisi perputaran thawaf ini menggambarkan proses seseorang menjalani kehidupan dunia. Dalam menjalani hidup, manusia pasti mengalami rintangan dan ujian, senang atau susah. Maka, jika manusia ingin sukses menjalani kehidupan ini, kuncinya adalah tetap fokus dan tulus menjalaninya dengan terus berusaha dan mematuhi aturan yang ada. Dia harus fokus menjalankan perintah Tuhan. Fokus mengarungi kehidupan dengan penuh kesabaran dan kesyukuran adalah kunci keberhasilan menjalani kehidupan.
Secara spiritual, thawaf mengajari manusia tentang siklus kehidupan. Mereka lahir di dunia atas kehendak Allah, hidup selalu bersama Allah (ahya wa amūt), dan pada akhirnya kembali kepada Allah. Berputar atau mengelilingi berarti bergerak sebagai tanda adanya kehidupan. Kondisi kehidupan terus berputar di antara manusia, jatuh bangun, kaya miskin, terkenal dan terlupakan, semuanya silih berganti menghiasai kehidupan manusia.
Secara historis, thawaf juga mengingatkan manusia kepada orang yang membangun Ka’bah, yaitu Nabi Ibrahim AS bersama putranya Isma’il AS, yang menguatkan keyakinan bahwa Islam yang kita anut ini merupakan kelanjutan dari risalah yang pernah diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Shalat sunat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim (tempat berdiri Nabi Ibrahim AS ketika membangun Ka’bah) setelah thawaf, yang dilakukan sebelum berdoa di Multazam, juga mengingatkan umat Islam akan adanya hubungan agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dengan agama yang disampaikan Nabi Ibrahim AS. Semua prosesi yang dilakukan dalam thawaf semakin mengukuhkan seorang Muslim akan keimanan, ketauhidan, serta keislamannya.
H. Hikmah Mencium Hajar Aswad
Mencium Hajar Aswad sunat bagi laki-laki dan mubah bagi perempuan. Karenanya perempuan tidak dianjurkan mencium Hajar Aswad kecuali dalam keadaan sepi. Mencium Hajar Aswad adalah amaliah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Nilai yang menonjol dalam mencium Hajar Aswad adalah kepatuhan mengikuti sunah Rasulullah SAW. Dalam konteks ini riwayat, sahabat Umar RA ketika mencium Hajar Aswad mengataَkan:
Artinya:
Ibnu ‘Abbas RA bercerita bahwa Umar RA bersandar di rukun Hajar Aswad lalu berkata: “Sungguh aku mengetahui engkau hanyalah batu, sekiranya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah SAW telah menciummu dan mengusapmu, niscaya aku tidak akan mengusapmu dan menciummu. Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan. (Ahmad, Al-Musnad, nomor hadits: 131 – 173 -) (HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas RA) *
* Ahmad, Al-Musnad, nomor hadits: 131
Dalam riwayat lain, Umar menghampiri Hajar Aswad kemudian menciumnya seraya mengatakan:
Artinya:
Dari ‘Abis bin Rabi’ah dari Umar RA: bahwasanya Umar RA datang mendekati Hajar Aswad lalu berkata: ‘’Sungguh aku mengetahui bahwa kamu ha- nyalah batu, kamu tidak memberi mudarat maupun manfaat, sekiranya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.’’ (Al-Bukhārī, nomor hadits: 1597. Muslim, nomor hadits: 1270.) (HR. Bukhari dari ‘Umar RA) *
* Al-Bukhārī, nomor hadits: 1597. Muslim, nomor hadits: 1270.
Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan dalam bersikap terhadap Hajar Aswad dengan sangat bijaksana. Jika memungkinkan, orang yang melakukan thawaf dianjurkan mencium Hajar Aswad. Jika tidak mungkin, dia cukup menyentuhnya dengan tangan, kemudian mencium tangannya yang telah menyentuh Hajar Aswad itu. Jika tidak mungkin juga, dia cukup berisyarat dari jauh, dengan tangan atau tongkat yang dibawanya, kemudian menciumnya. Dengan demikian, mencium Hajar Aswad mencerminkan sikap kepatuhan seorang Muslim mengikuti tuntunan Rasulullah SAW.
Saat mencium Hajar Aswad, manusia diharapkan mengingat kembali janji yang pernah ia ikrarkan di hadapan Allah SWT,* ikrar tentang status kahambaan manusia di hadapan Tuhannya, ikrar yang menegaskan bahwa Allahlah satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati.
* Ikrar tersebut termaktub dalam QS. Al-A’raf: 172. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman),”Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”
Mencium hajar aswad juga memberikan pelajaran tentang sikap tawadlu’ atau ketundukan menjalankan perintah Tuhan. Manusia adalah makhluk mulia dan dimuliakan oleh Allah, sementara batu adalah makhluk mati yang tak berakal. Kemuliaan yang diberikan kepada manusia kerap membuatnya lalai dan lupa akan hakekat statusnya sebagai hamba. Untuk mengingatkannya, manusia diperintahkan mencium makhluk dengan derajat yang lebih rendah dibanding dirinya, agar ia tak sombong dan jumawa di depan makhluk-makhluk-Nya, apalagi di hadapan Sang Pencipta.
Abdullah bin Abbas pernah berkata bahwa Hajar Aswad adalah yaminullah fil-ardh (tangan kanan Allah di muka bumi).
“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi, barangsiapa menyalami dan menciumnya, seakan-akan ia menyalami dan mencium ‘tangan kanan’ Allah.” * (HR. Al-Azraqi, Abdurrazzaq dan Ibn Asakir dari Ibnu ‘Abbas RA)
* Al-Azraqî, Akhbâr Makkah, nomor hadits 420. – 175 –
Karena itu, saat mencium Hajar Aswad, manusia diminta untuk betul-betul berserah diri dan tunduk kepada Allah SWT karena hakekatnya ia sedang berhadapan dengan Tuhan penguasa semesta alam. Tunduknya hati dan pikiran akan mengantarkan seseorang mendapatkan siraman rahmat dan pencerahan dari-Nya.
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas, di ceritakan bahwa Hajar Aswad dulu berwarna putih, tapi karena sering dijamah tangan manusia yang penuh dosa, ia berubah menjadi hitam. Karena berubah menjadi hitam, disebutlah makhluk itu sebagai َHajar Aswad.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasul SAW bersabda: “Hajar Aswad adalah batu dari surga dan awalnya lebih putih dari salju. Dosa manusialah yang membuatnya menjadi hitam.” (At-Tirmidzi, nomor hadits 877.) (HR. At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas RA) *
* At-Tirmidzi, nomor hadits 877
Ibnu Hajar al-Asqallani menjelaskan, warna hitam Hajar Aswad memberikan petunjuk bahwa jika warna batu saja dapat berubah menjadi hitam legam karena disentuh manusia yang kerap berbuat salah dan dosa, bagaimana dengan hati manusia? Tentu hati akan lebih mudah berubah menjadi hitam jika pemiliknya sering berbuat dosa dan kesalahan. Mencium Hajar Aswad mengajarkan manusia agar senantiasa mengingat bahwa daya rusak dosa dan maksiat sangatlah besar.
I. Hikmah Minum Air Zamzam
Saat air keluar dari bawah kaki Ismail, Siti Hajar berusaha untuk mengumpulkan air tersebut seraya berkata: “Zamzami…. zamzami..” (berkumpullah… berkumpulah wahai air). Sejak saat itulah air ini dikenal dengan sebutan Zamzam.
Meminum air Zamzam memberikan pesan bahwa dalam menjalani aktivitas, manusia membutuhkan bekal. Di antara bekal terbaik adalah minuman air. Dengan minum air, seseorang akan kembali segar dan dapat menjalankan tugasnya kembali. Air adalah sumber kehidupan, tanpa air makhluk hidup di dunia ini akan mati. Air juga mengisyaratkan kedamaian dan kesentosaan. Dengan air, apa yang panas akan menjadi dingin. Seseorang yang sedang emosional dan capek akan hilang emosi dan rasa capeknya jika ia meminum air.
Meminum air Zamzam mengajarkan manusia tentang pentingnya merawat alam dan menjaga kedamaiannya. Bumi perlu dilestarikan, perlu dijaga, dan dikonservasi. Air adalah sumber kehidupan yang dengannya bumi dan segenap makhluk di dalamnya akan tetap hidup. Bukankah Allah berfirman:
“Dan kami jadikan dari air segala sesuatu menjadi hidup.” Al-Anbiya’[21]: 30)
J. Hikmah Sa’i
Pada dasarnya perjalanan sa’i adalah dzikrullah karenanya selama menjalankan sa’i seseorang harus dipenuhi dengan dzikir. Arti kata sa’i adalah usaha. Bisa pula dikembangkan artinya menjadi: berusaha dalam hidup, baik pribadi, keluarga, atau masyarakat. Pelaksanaan sa’i antara bukit Safa dan Marwa melestarikan pengalaman Siti Hajar (ibu Nabi Ismail AS) ketika ia mondar-mandir antara dua bukit itu untuk mencari air minum bagi dirinya dan putranya. Saat itu ia kehabisan air di tempat yang sangat tandus padahal tiada seorang pun yang dapat dimintai pertolongan. Nabi Ibrahim AS, suami Siti Hajar dan ayahanda Nabi Ismail AS, tidak berada di sana. Ia berada di tempat yang sangat jauh, di Negeri Syam.
Hanya kasih sayang seorang ibu pada anaknyalah yang mendorong Siti Hajar mondar-mandir antara bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Jarak antara bukit Safa dan Marwah ± 400 meter. Dengan begitu, jarak yang ditempuh Siti Hajar hampir tiga kilometer. Akhirnya, Allah memberi nikmat berupa mengalirnya air Zamzam dari mata air abadi. Peristiwa itu menggambarkan bagaimana kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dan ini harus menjadi teladan bagi kaum Muslimin.
Sa’i memberikan makna sikap optimistis dan usa- ha yang keras serta penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT. Kesungguhan yang dilakukan oleh Siti Hajar dengan tujuh kali mondar-mandir berjalan antara Safa dan Marwa memberikan makna bahwa hari-hari yang dilewati manusia berjumlah tujuh hari setiap minggu haruslah diisi dengan usaha dan kerja keras. Pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh- sungguh itu sangat disenangi Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sungguh Allah SWT sangat senang jika salah satu di antara kalian melakukan suatu pekerjaan dengan sungguh- sungguh.’’ * (HR. Ath-thabrani dari ‘Aisyah RA)
* Ath-thabrānī, Mu’jam al-Ausath, nomor hadits: 1/901. – 179 –
Ketika seseorang menghayati dan meresapi syariat sa’i, akan muncul dalam dirinya sikap-sikap positif menghadapi berbagai tantangan hidup, antara lain: kerja keras, optimisme, kesungguhan, keikhlasan, kesabaran, dan tawakkal.
Karunia Allah kadang-kadang diperoleh tanpa disangka sebelumnya. Dia akan memberikan anugerah kepada hamba-Nya yang rajin dan konsisten menjalankan tugas fungsinya. Setelah berusaha, hendaklah ia bertawakkal dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.
Sa’i dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwa. Ini artinya dalam menjalani bisnis, menjalani pekerjaan, seseorang harus memastikan diri bahwa dia memulainya dengan hal yang suci, baik, dan bersih. Pekerjaan yang diawali dengan hal yang baik, bersih, dan suci akan mengantarkannya kepada keberhasilan dan kesejahteraan. Itulah makna Marwa, sebuah kondisi tercukupi dan terpenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, sa’i mengajarkan manusia tentang pentingnya berusaha dengan sekuat tenaga. Tanpa berusaha, kebahagiaan tak akan pernah ada.
K. Hikmah Berjalan Cepat (Ramal)
Ramal adalah jalan cepat. Salah satu hikmah disyariatkannya berjalan cepat saat thawaf adalah untuk menunjukkan pentingnya kepercayaan diri, kerja keras, dan kekuatan umat Islam serta keluhuran agama mereka.
Pada waktu Rasulullah SAW dan sahabat me- masuki kota Makkah sesudah hijrah, kaum Quraisy berkumpul di Dār an-Nadwah melihat kaum Muslimin sambil mengejek dan menganggap rendah seraya berujar “Wabah demam yang melanda Yatsrib telah melemahkan mereka.” Lalu Rasulullah bersabda kepa- da sahabat:
Artinya:
….“Berlari-lari kecillah mengelilingi Ka’bah tiga kali supaya kaum musyrik menyaksikan kekuatan kalian”, maka ketika mereka tengah berlari-lari, kaum Quraisy berkata “Apa yang membuat mereka lemah?” * (HR. Ahmad).
* Ahmad, Al-Musnad, nomor hadis: 2794. – 181 –
L. Hikmah Bercukur
Mencukur rambut adalah penegasan dan realisasi selesainya masa ihram. Setelah seseorang bercukur, maka jemaah haji telah bertahallul, semua yang semula dilarang menjadi boleh. Ini mengajarkan kepada umat Islam bahwa Muslim yang baik hanya melakukan hal-hal yang dihalalkan Allah SWT.
Ketika seseorang mencukur rambut, kotoran yang melekat pada rambut menjadi hilang karena rambut kepala berfungsi menjaga otak dari berbagai penyakit. Otak yang sehat akan membuahkan pemikiran yang positif. Memotong atau mencukur rambut hingga gundul hanya diperintahkan kepada kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan hanya diperintahkan memotong sebagian rambut kepala saja. Hal ini sesuai hadis Nabi Muhammad SAW:
Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada keharusan bagi perempuan untuk bercukur (dalam tah}allul), tapi hanya diharuskan memotong (rambut kepala) * (HR. Abu Daud dari Ibnu ‘Abbas RA).
* Abī Dāud, Sunan Abī Dāud, nomor hadis: 1984. – 182 –
Mengapa rambut kepala yang dicukur? Kepala adalah mahkota dan rambut adalah hiasannya. Dipotongnya rambut memberikan isyarat bahwa pangkat, kedudukan, dan status sosial yang dimiliki seseorang pasti akan berakhir. Mencukur rambut juga memberikan pelajaran tentang pentingnya sikap tawadlu/rendah hati. Betapapun tinggi pangkat seseorang, di hadapan Allah pangkat itu tak akan berarti apa-apa jika pangkat tersebut membuatnya lalai dan jauh dari-Nya. Potonglah simbol kesombongan itu, lalu letakkan dan buanglah ke tanah. Hiduplah bersama tanah yang memiliki sifat ketundukan dan kasih sayang.
M. Hikmah Wukuf
Wukuf artinya berhenti, diam tanpa bergerak. Wukuf adalah berkumpulnya seluruh jemaah haji di Arafah pada 9 Dzulhijjah sebagai puncak ibadah haji.
Jika dikaitkan dengan thawaf, yang diwarnai dengan gerakan, wukuf mengisyaratkan bahwa suatu saat gerakan itu akan berhenti. Jantung manusia suatu saat akan berhenti berdetak, matanya akan berhenti berkedip, kaki dan tangannya akan berhenti melangkah dan bergeliat. Ketika semua yang bergerak itu berhenti, terjadilah kematian dan manusia sebagai mikro kosmos pada saatnya nanti akan dikumpulkan di Padang Mahsyar. Sampai di sini, Arafah menjadi lam- bang dari Padang Mahsyar, sebagaimana yang digam- barkan dalam hadis Nabi SAW: “Pada hari di mana tidak ada lagi pengayoman selain pengayoman- Nya.” *
* Al-Bukhari, nomor hadits 1423.
Arafah merupakan lokasi tempat berkumpul- nya jemaah haji. Arafah adalah lambang dari maqam ma’rifah billah, yang memberikan rasa dan citra bahagia bagi ahli ma’rifah, yang tidak dapat dirasakan oleh jemaah haji pada umumnya. Di Arafah inilah seluruh jemaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul dengan bahasa, suku, bangsa, adat- istiadat, dan warna kulit yang berbeda-beda, tapi mereka punya satu tujuan yang dilandasi persamaan, tanpa perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara yang besar dan kecil, antara pejabat dan rakyat biasa.
Di situlah tampak nyata persamaan yang hakiki. Itulah Arafah yang namanya diambil dari kata ta’aruf atau saling mengenal menuju saling tolong-menolong, saling membantu di antara mereka momen terpenting dalam berhaji dan menjadi syiar membanggakan tentang kuatnya ajaran egalitarianisme dalam Islam. Mu’tamar akbar ini masih akan berlanjut jika para jemaah haji berkumpul di Mina. Alangkah hebatnya peristiwa ini, apalagi setiap tahun peristiwa itu akan berulang dan berulang sampai hari kiamat tiba.
Pendeknya waktu yang diberikan kepada jemaah haji untuk wukuf di Padang Arafah sejak matahari tergelincir hingga terbenam pada 9 Dzulhijjah mempunyai arti yang sangat penting karena di waktu yang singkat itulah seluruh jemaah haji dari ber- bagai penjuru dunia berkumpul di satu tempat untuk melaksanakan rukun haji yang menentukan sah atau tidaknya ibadah haji. Setelah wukuf dilakukan, jemaah haji merasakan bebas dari beban dosa kepada Allah, yakin doa-doa dikabulkan, dorongan untuk melaku- kan kebaikan yang lebih banyak terasa sangat kuat, dan rahmat Allah SWT pun dirasakan menentramkan jiwa mereka. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dari Anas ibn Malik RA. berkata: Nabi Muhammad SAW wukuf di Arafah, di saat Matahari hampir terbenam, ia berkata: “Wahai Bilal suruhlah umat manusia mendengarkan saya. “Maka Bilal pun berdiri seraya berkata: “Dengarkanlah Rasulullah SAW,” maka mereka mendengarkan, lalu Nabi bersabda: “Wahai umat manu- sia, baru saja Jibril AS datang kepadaku membacakan salam dari Tuhanku, dan dia mengatakan: “Sungguh Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang-orang yang berwukuf di Arafah dan orang-orang yang berma- lam di Masy’aril Haram (Muzdalifah), dan menjamin membebaskan mereka dari tuntutan balasan dan dosa- dosa mereka. Maka Umar ibn Khath} a} b pun berdiri dan bertanya, Ya Rasulullah, apakah ini khusus untuk kita saja? Rasulullah menjawab, ini untuk kalian dan untuk orang-orang yang datang sesudah kalian hingga hari kiamat kelak. Umar RA pun lalu berkata: kebaikan Allah sungguh banyak dan Dia Maha Pemurah.’’ * (HR. Ibnu Mubarak dari Anas RA)
* Ash-Shuyuthi, Ad-Durr al-Mantsur, 2/553.
Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:
Aisyah RA berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka selain dari Hari Arafah…. * (HR. Muslim dar ‘Aisyah RA).
* Muslim, nomor hadits: 1348
Wukuf bermakna pengenalan. Saat inilah seorang Muslim diharapkan bisa lebih mengenali dirinya dan Allah SWT sebagai Tuhannya. Di Arafah inilah umat Islam diminta untuk berdiam, merenung, berintrospeksi dan bertaubat kepada-Nya. Haji baru dapat mencapai hakekatnya bila seseorang dapat mengetahui hakekat dirinya di hadapan Tuhannya. Karena itulah Rasul SAW bersabda :
Artinya:
Haji adalah (wukuf) pada hari Arafah. * (HR. Ashabussunan dan Ahmad)
* Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, nomor hadits: 3015; At-Tirmiżi, nomor hadits: 8889; An-Nasa’i nomor hadits 3016 Abī Dāud, nomor hadits: 1949, dan Ahmad, A-Musnad, nomor hadits:18856
Dari sudut pandang fikih, haji mereka yang tidak berwukuf di Arafah tidak sah. Sementara dari sudut pandang spiritual, wukuf di Arafah harus mampu mengantarkan seseorang mencapai makrifat; pengetahuan tentang status dirinya sebagai hamba Allah SWT. Tanpa seseorang mencapai level spiritual ini, secara hakekat, hajinya dianggap tidak berarti apa- apa.
Karena itu, di padang Arafah inilah, dulu para nabi berwuquf, berhenti dan berkontemplasi, bermunajat kepada Allah SWT. Di padang inilah dulu Nabi Adam dan Siti Hawa alaihimassalaam mengetahui dan mengakui dosa-dosa yang pernah mereka lakukan. Di tempat inilah, dulu Nabi Ibrahim AS mengetahui dan meyakini sepenuh hati bahwa perintah menyembelih anaknya, Isma’il AS, adalah wahyu dari Allah. Karena itulah mengapa pencapaian terbesar seorang hamba Allah diukur saat menunaikan ibadah haji di padang Arafah. Saat mampu menemukan hakekat kehambaan, mereka tertunduk bersimpuh di hadapan keagungan Dzat-Nya.
Ritual wukuf juga mengisyaratkan pentingnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Manusia butuh waktu-waktu khusus untuk berhenti dari kerutinan dan aktivitas, berhenti sejenak agar dapat berpikir, menimbang, dan merencanakan agenda kehidupan jangka panjang.
Padang Arafah juga menggambarkan bagaimana umat manusia nanti di padang Mahsyar; diam, cemas dan penuh harap saat menunggu keputusan Allah SWT, surga atau neraka. Di padang Arafah inilah semua manusia berkumpul dalam status yang sama sebagai hamba Allah. Tak ada lagi kesombongan, tak ada lagi status sosial. Semua berpakaian putih-putih, menunjukkan kesucian jiwa dan kejernihan pikiran untuk menggapai ridha Ilahi.
N. Hikmah Mabit di Muzdalifah
Setelah Matahari terbenam pada 9 Dzulhijjah, jemaah haji meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah untuk berhenti, beristirahat, dan bermalam di sana. Ini disebut mabit. Di keheningan malam tempat mabit ini sangat ideal untuk melakukan kontemplasi, tafakkur, tadabbur, merenung mendekatkan diri kepada Allah. Jemaah haji berada di Muzdalifah minimal hingga lewat tengah malam, setelah itu dibolehkan bergerak menuju Mina. Selama mabit di Muzdalifah, jemaah disunahkan mengambil sedikitnya tujuh butir kerikil untuk melontar Jamrah Aqabah esok paginya sesampai mereka di Mina. Orang mabit di Muzdalifah dengan mengambil kerikil itu bagaikan pasukan tentara yang sedang menyiapkan tenaga dan senjata untuk ber- perang melawan musuh laten manusia, yaitu setan yang terkutuk.
Muzdalifah berasal dari kata izdilâf yang berarti al-iqtirâb (mendekat) atau al-ijtimâ’ (berkumpul). Disebut demikian karena tempat ini jaraknya sudah dekat dengan Mina. Atau karena di tempat inilah para jemaah haji berkumpul untuk menginap dan beristirahat pada malam 10 Dzulhijjah untuk mempersiapkan diri melempar jamrah Aqabah esok paginya.
Tempat ini juga disebut sebagai al-masy’ar al- haram. Di sinilah dulu Nabi Muhammad SAW pernah bermalam dan terus berdzikir kepada Allah SWT. Secara simbolik, mabit di Muzdalifah memberi pesan tentang pentingnya mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan waktu malam adalah salah satu waktu terbaik untuk mengetuk pintu langit memohon ampunan.
“Maka apabila kamu bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. dan berdzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tau. Al-Baqarah [2]: 198
O. Hikmah Mabit di Mina
Jemaah haji melaksanakan Mabit di Mina sebagai kelanjutan dari pelaksanaan ibadah sebelum- nya, dilaksanakan pada 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Selama mabit di Mina, jemaah haji harus mampu menghayati makna dan hikmahnya, dengan banyak bertakbir, berdzikir, berdoa dengan lisan dan hati, dan menghayati perjalanan Rasulullah SAW dan para nabi sebelumnya. Allah SWT berfirman:
Artinya:
Dan berzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya. Al-Baqarah [2]:203).
Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abdurrahman bin Ya’mar ad-Daliyyi berkata… maka Rasulullah SAW bersabda: “…Hari-hari (tinggal) di Mina adalah tiga hari…”. * (HR.Abu Daud dan Ahmad).
* Abi Daud, Sunan Abi Daud, nomor hadits: 1949 dan Ahmad,, Al-Musnad, nomor hadits: 18856
Selama di Mina ada dua aktivitas yang perlu dilakukan oleh jemaah haji: Pertama, mereka melontar jamrah Aqabah pada hari Nahar dan melontar Jamrah Ūlā, Jamrah Wusta, dan Jamrah Aqabah pada hari- hari Tasyriq. Kedua, mereka melakukan mabit, yakni tinggal dan menginap di Mina, selama malam hari Ayyāmut Tasyriq.
Aisyah RA, Istri Rasulullah SAW, َ mengemukakan:
Artinya:
Rasulullah SAW melakukan ifadah (thawaf ke Makkah) pada waktu shalat zhuhur, kemudian kembali ke Mina, lalu tinggal di Mina selama tiga hari Tasyriq. * (HR. Ibnu Hibban dari ‘Aisyah RA)
* Ibnu Hibban, Sahih Ibn hibbān, nomor hadits: 3956. – 191 –
Pada hari biasa Mina tampak lengang dan luas, sedangkan pada hari nahr dan hari-hari tasyriq penuh sesak dengan Jemaah haji. Meskipun demikian, Mina dapat menampung seluruh jemaah haji. Inilah keistimewaan Mina. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Mina ini seperti rahim, ketika terjadi kehamilan, daerah ini diluaskan oleh Allah SWT”. Karena itu, sudah semestinya umat Islam tidak perlu khawatir kehabisan tempat atau tidak dapat tempat di Mina.
Mina kadang juga disebut Muna yang berarti angan-angan atau harapan. Di tempat inilah dulu para nabi bermunajat, meminta, dan berharap kepada Allah SWT. Sesuai dengan namanya, Muna/Mina, lokasi ini adalah tempat dicurahkannya semua harapan dan doa. Nabi SAW pernah mengabarkan bahwa di Mina – tepatnya di masjid Khaif – sebanyak 70 nabi pernah salat dan bermunajat. Nabi Muhammad pun mengikuti jejak pendahulunya, selama tiga hari ia bermalam dan bermunajat di masjid tersebut. Tempat ini mustajab, maka selama mabit di Mina jemaah haji disunnahkan untuk memperbanyak doa.
Mina juga tempat menyembelih hewan qurban. Ia disebut dengan Mina karena di sinilah darah- darah hewan kurban/hewan dam ditumpahkan (tumna ad-dimâ’). Nabi Ibrahim AS menyembelih putranya, Ismail, juga di Mina. Nabi Muhammad SAW menyembelih hewan kurbannya juga di Mina. Karena itu, disunnahkan bagi jemaah haji untuk menyembelih hewan kurban atau dam di tempat ini, sebagai pertanda ketundukan dan totalitas ibadah.
P. Hikmah Melepas Pakaian Ihram
Melepas kain ihram setelah tahallul adalah gambaran akhir dari semua urusan dunia dan akan dibalas dengan surga, yakni diperbolehkannya kem- bali melakukan kesenangan (syahwat) yang terlarang selama ihram. Kelak, gambaran kenikmatan itu tersedia di dalam surga.
Q. Hikmah Melontar Jamrah
Mina adalah tempat Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Sebelum mereka sampai di tempat yang dituju, tiba-tiba Iblis datang menggo- da Nabi Ibrahim AS agar menghentikan niatnya. Namun, dengan penuh keyakinan dan ketakwaan kepada Allah SWT, Ibrahim tetap melaksanakan perin- tah itu. Ia tahu tujuan iblis pada hakikatnya adalah untuk mengajak melanggar perintah Allah. Karena itu, Ibrahim kemudian mengambil tujuh batu kerikil dan melemparnya ke Iblis. Inilah yang disebut Jumrah Ūlā.
Tak berhasil memengaruhi Ibrahim AS, Iblis lalu datang membujuk Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Iblis memengaruhi Hajar dengan perhitungan, seorang ibu pasti tak akan sampai hati membiarkan buah hatinya disembelih. Tapi Hajar menolak dan melempari Iblis dengan batu kerikil. Lokasi pelemparan Hajar itu kemudian dijadikan tempat melempar Jamrah Wusta.
Langkah Iblis tidak berhenti di situ. Dia beralih kepada Ismail AS, putra Ibrahim-Hajar, yang dianggapnya masih memiliki keimanan dan ketakwa- an yang rapuh. Tapi Ismail ternyata juga menunjukkan perlawanan. Ia kukuh memegang keimanannya dan yakin dengan sepenuh hati akan perintah Allah SWT. Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail lalu bersama-sama melempari Iblis dengan batu kerikil, yang kemudian diabadikan menjadi lemparan Jamrah Aqabah. Allah SWT pun memuji upaya Nabi Ibrahim dan keluarga- nya karena dianggap berhasil menghadapi ujian.
Demikianlah Iblis selalu menggoda manusia untuk tidak menaati perintah Allah SWT. Betapapun kecilnya kadar kebajikan yang akan dilakukan oleh manusia, godaan iblis pasti senantiasa menghadang.
Al-Qur’an menceritakan ikrar Iblis yang dinilai sesat dan dilaknat oleh Allah SWT setelah menolak perintah untuk bersujud kepada Adam AS dan minta diberi kesempatan hidup hingga manusia dibang- kitkan pada hari kiamat. Allah SWT berfirman:
Ia (Iblis) berkata, “Ya Tuhanku”, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan menjadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, [39] kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka [40]’’. Al-Hijr [15]:39-40.
Melontar jamrah mengingatkan jemaah haji bahwa Iblis senantiasa berusaha menghalangi menusia melakukan kebaikan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan:
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‘’Sesungguhnya setan mengalir pada manusia di tempat darah mengalir dalam dirinya.’’ (HR. Bukhari, Muslim dan Abi Daud) *
* Al-Bukhārī, nomor hadis: 6219, Muslim, nomor hadits 2174. Abi Daud, Sunan Abi Daud, nomor hadits 4719
Inilah simbol perlawanan sepanjang umur manusia terhadap setan. Melontar jamrah adalah simbol kutukan kepada unsur kejahatan yang sering membinasakan manusia. Melontar juga mengisyaratkan tekad kuat untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang mendatangkan bahaya kepada diri sendiri dan masyarakat.
Lemparan jamrah harus dilakukan dengan benda padat berupa kerikil, tidak boleh dengan benda cair atau benda lembek. Lemparan tidak cukup sekali, tapi tujuh kali dan harus mengenai sasaran. Ini artinya perlawanan terhadap setan dan sifat-sifatnya harus dilakukan secara ulet dan sekuat tenaga. Sifat- sifat syaitaniyah yang cenderung destruktif harus dikeluarkan, dilemparkan, dan dibuang sekuat tenaga dari dalam diri manusia. Proses mengeluarkan dan melemparnya harus dipastikan tepat agar tidak salah sasaran dan dilakukan dengan niat yang kokoh, berulang kali, terus-menerus hingga kejahatan benar- benar sirna dari dalam diri manusia.
Setan tidak akan pernah berhenti menggoda manusia dan godaannya tidak mudah dirasakan. Karena itu, hanya orang-orang yang hidup ikhlas sajalah yang akan mampu menanggulangi godaan setan itu. Nabi Ibrahim AS selamat dari godaan Iblis karena keikhlasannya menjalani hidup untuk menaati perintah-perintah Allah SWT meskipun menghadapi ujian sangat berat untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Melontar jamarat pada intinya memiliki hikmah yang sangat besar, sebagai lambang melempar Iblis yang dilaknat oleh Allah SWT, yang kemudian dikenal dengan: Jamrah Ūlā (Sughra), Jamrah Wusta (Tsaniyah), dan Jamrah Aqabah (Kubra).
R. Hikmah Nafar
Istilah “nafar” dapat diartikan rombongan atau gelombang keberangkatan jemaah haji meninggalkan Mina. Nafar terbagi dua, yaitu: nafar awwal dan nafar tsani. Disebut nafar awwal karena jemaah haji menyelesaikan semua kewajiban haji mereka di Mina sampai hari kedua Tasyriq (12 Dzulhijjah). Disebut nafar tsani karena jemaah haji bermalam lagi di Mina dan melontar jamrah esok harinya (13 Dzulhijjah) ke- mudian meninggalkan Mina.
Penetapan nafar seperti itu didasarkan atas firman Allah SWT dan amalan Rasulullah SAW, yang mem- berikan alternatif pilihan buat jemaah haji berdasarkan kepentingan masing-masing. Dalam pengaturan tersebut, tecermin toleransi dan kehanifan ajaran Islam dalam batas-batas tertentu karena kecenderungan untuk melakukan nafar awwal tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa mempertimbangkan kepentingan pribadi atau maslahah umum, misalnya pertimbangan pengaturan pulang ke kampung halaman. Karena itu, Umar bin Khatab melarang penduduk kota Makkah untuk mengambil nafar awwal karena mereka tidak di- desak oleh kepentingan pulang ke daerah asal, seperti yang dijelaskan dalam kitab Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khatab. Sedangkan para imam lainnya membolehkan siapa saja mengambil nafar awwal tanpa dosa tetapi kehilangan keutamaan (fadilah), sebagaimana Firman Allah SWT:
… Barang siapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barang siapa mengakhirkannya tidak ada dosa (pula) baginya, (yakni) bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan-Nya. Al-Baqarah [2]: 203.
S. Hikmah Dam
Dam menurut bahasa berarti darah. Membayar dam adalah amalan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang yang melakukan ibadah haji atau umrah akibat sebab-sebab tertentu, baik sebagai konsekuensi dari suatu ketentuan tata cara beribadah haji yang dipilih oleh jemaah (tamattu’ dan qirān) atau akibat suatu pelanggaran yang dilakukannya karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau justru menger- jakan sesuatu yang diharamkan dalam ibadah haji dan umrah.
Hikmah yang harus dipahami dari syariat membayar dam ini adalah bahwa ibadah haji tak ubahnya jihad menegakkan agama Allah SWT, yang di dalamnya sangat wajar jika darah syahid mengalir sebagai akibat dari jihad itu. Menegakkan agama dengan jihad berarti membela iman kepada Allah SWT, dan pada gilirannya mengangkat keyakinan bahwa “hidup dan mati adalah karena Allah, termasuk mati dengan mengeluarkan darah”.
T. Hikmah Menyembelih Hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban adalah mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS. Allah SWT memerintahkan Ibrahim lewat mimpinya agar menyembelih puteranya, Ismail AS, sebagai bukti keimanan dan ketakwaannya kepada-Nya. Kemudian Allah SWT menggantikannya dengan binatang sembelihan yang besar. Ada dua hikmah terdapat dalam kejadian ini
1. Ibrahim AS memperlihatkan ketaatan yang sempurna kepada Allah SWT Yang Maha Agung, pada ia diperintah untuk menyembelih putera kesayangannya sendiri.
2. Menunaikan kewajiban bersyukur kepada Allah berupa nikmat tebusan. Allah SWT menjadikan orang yang menyembelih hewan termasuk orang yang bersedekah dari nikmat yang Allah berikan kepadanya. Dia bukan termasuk orang fakir yang berhak menerima shadaqah. Jemaah haji dan orang-orang yang berqurban pada hakikatnya berada pada tingkatan tertinggi di sisi Allah sebab tidak ada kedudukan yang paling tinggi melebihi ketaatan kepada-Nya dalam setiap perintah- Nya, sekalipun dalam bentuk menyembelih puteranya sendiri. Karenanya jemaah haji dianjurkan menyembelih hewan qurban sesuai kemampuan, setidaknya dengan menyembelih seekor kambing, sebagaimana Nabi Muhammad SAW memberi contoh menyembelih 100 ekor unta untuk qurban ketika ia berhaji wada’.
Penyembelihan hewan mengartikan kesucian karena darah yang ditumpahkan itu seolah-olah adalah darah kotor. Penyembelihan hewan juga mengisyaratkan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah SWT.
Secara fisik, menyembelih hewan kurban atau hewan dam adalah dengan memotong lehernya. Tapi secara subtantif-filosofis, penyembelihan hewan ini menunjukkan pesan penting kepada umat Islam untuk memotong sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Iri, dengki, serakah, rakus, sombong, mau menang sendiri, tak kenal sanak saudara adalah sebagian dari sifat-sifat kebinatangan yang harus dipotong dan disembelih dari diri setiap manusia.
Allah tidak menginginkan daging-daging sembelihan karena Dzat Maha Suci itu memang tidak membutuhkan daging, tapi Ia menginginkan ketakwaan para pelaksana korban atau sembelihan. Ketakwaan sejati hanya dapat diimplementasikan oleh mereka yang terbebas dari sifa-sifat kebinatangan.
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai pada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkan untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. Al-Hajj [22]: 37
U. Hikmah Thawaf Wada’
Kata wada’ berarti perpisahan. Jadi, thawaf wada’ adalah thawaf perpisahan dengan Ka’bah al- Musyarrafah, Masjidil Haram, dan sekaligus dengan Tanah Haram Makkah. Dalam thawaf wada’ atau thawaf perpisahan ini ada beberapa hal yang dapat diungkapkan dan diharapkan kepada Allah SWT, antara lain:
1. Bersyukur kepada Allah SWT atas rahmat- Nya karena atas kehendak-Nyalah seluruh rangkaian ibadah haji atau umrah dapat diselesaikan dengan baik dan maksimal. Berbagai nikmat dan rahmat telah diperoleh selama jemaah menjalankan ibadah haji dan umrah. Inilah nikmat terbesar yang diberikan Allah SWT kepada mereka yang berhaji atau berumrah karena tidak semua umat Islam bisa melaksanakan ibadah ini kendati mereka ingin sekali melaksanakannya. Sebagai dampak dari melaksanakan ibadah haji atau umrah, tak terbayangkan berbagai kenikmatan yang akan diberikan Allah SWT kelak kepada orang- orang yang melaksanakannya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti, Insya Allah.
2. Mengharap kepada Allah SWT agar semua amal ibadah yang dikerjakan, baik berupa pengorbanan tenaga, waktu, uang, serta materi lainnya yang dikeluarkan, dapat diterima oleh Allah SWT dan ibadah haji dan umrah yang mereka kerjakan benar-benar mabrur dan memperoleh balasan yang dijanjikan Allah, surga penuh kenikmatan. Ini karena dalam pelaksanaan ibadah ini tidak ada yang diinginkan kecuali rida, pengampunan, dan balasan pahala dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
Aku mendengar Abu Hurairah RA berkata: Aku Mendengar Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang melaksanakan haji karena Allah dengan tidak melakukan rafas\ (kata-kata kotor) dan tidak berbuat fusuq (durhaka), maka dia kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya (tanpa dosa). * (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
* Al-Bukharī, sahih Bukharī, nomor hadits: 1521 dan Muslim, nomor hadits: 1350
3. Perjalanan dari Indonesia ke Tanah Suci Makkah dan kembali ke Tanah Air tentulah perjalanan yang cukup panjang, melelahkan, dan berisiko tinggi serta penuh dengan tan- tangan yang berat. Dalam thawaf wada’ ini, doa mereka panjatkan kepada Allah SWT agar selama dalam perjalanan senantiasa dilindungi Allah dengan keselamatan dan kesehatan. Perjalanan yang demikian panjang, bahkan semua perjalanan hidup, perlu men- dapat lindungan Allah SWT. Dialah yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa mengatur segala perjalanan dan melindungi semuanya.
4. Mengerjakan haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup, tapi tidak salah pula bila seseorang ingin mengerjakannya lebih dari satu kali selama hidup. Pertemuan atau berada di Ka’bah memiliki makna tersendiri bagi setiap orang yang mengerjakan haji atau umrah. Baitullah bukan sekadar “rumah” yang ditatap sepintas dan kemudian ditinggalkan. Ternyata Baitullah adalah sumber kerinduan bagi setiap jemaah haji karena setiap jemaah yang akan meninggalkan Ka’bah ternyata rindu untuk kembali ke sana, bahkan tidak sedikit orang yang meneteskan air mata karenanya. Berbeda ketika orang melihat sesuatu tanpa kesan dan tidak tertarik lagi untuk kali kedua dan sete- rusnya. Berbeda dengan Ka’bah, setelah meli- hatnya atau berada di sana, muncul keimanan dalam hati. Sebab itu, ketika thawaf wada’, setiap jemaah berdoa agar dapat berkunjung kembali ke Baitullah.
V. Hikmah Ziarah
Ziarah sesuai dengan hukum dasarnya adalah jaiz (boleh) dan dapat menjadi sunnah atau dapat pula menjadi makruh atau menjadi haram, tergantung dari niat yang melaksanakan ziarah. Apabila dia berziarah semata-mata karena Allah SWT, ziarah yang ia lakukan menjadi ibadah baginya. Bila ziarahnya untuk mengambil i’tibar atau nilai pelajaran atas yang didapatnya, apa yang ia lakukan menjadi sunnah. Sebaliknya, bila ziarahnya hanya semata-mata karena didorong oleh nafsu atau pertimbangan lain yang tidak dibenarkan agama, yang dapat merusak akidah, apa yang ia lakukan menjadi ziarah yang makruh, bahkan haram dan diazab di sisi Allah SWT. Karena itu, hikmah yang dapat dipetik dari ziarah adalah:
1. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan menambah rasa cinta terhadapajaran-ajaran agama. Hal ini termasuk dalam pemahaman firman AllahSWT:
Artinya:
Katakanlah (Muhammad), “Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. Al-An’am [6]: 11.
2. Mengambil pelajaran dari apa yang ditemukannya dalam ziarah untuk kepentingan hidupnya selagi tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sikap seperti ini termasuk yang difirmankan Allah SWT:
Artinya:
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang- orang yang mempunyai pandangan! Al- Hasyr [59]: 2.
Ziarah mengajarkan umat Islam tentang pentinganya menghargai sejarah dan konservasi peninggalan para pendahulu. Ziarah juga memberi pelajaran bahwa hidup ini berproses dan bersiklus, mulai dari lahir, tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, hingga usia tua dan mati kembali ke haribaan Tuhan. Ziarah mengingatkan setiap manusia tentang hakekat hidup tak lebih dari sebuah proses silih berganti dari satu kondisi ke kondisi lain.
Allah berfirman:
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka merekapun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang- orang yang zalim.” Ali Imran : 140.
Sumber:
TUNTUNAN MANASIK HAJI DAN UMRAH
@Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2020